Monday, May 7, 2007

PROBLEM TEKS BIBEL

PROBLEM TEKS BIBEL

Oleh: Adian Husaini, MA. Ph.D.

Istilah “Bible” digunakan oleh Yahudi dan Kristen. Keduanya – meskipun memiliki konflik yang panjang dalam sejarah – berbagi irisan dalam soal Bibel. Hingga kini Bible (Latin: Biblia, artinya ‘buku kecil’; Yunani: Biblos) biasanya dipahami sebagai Kitab Suci kaum Kristen dan Yahudi. Namun, ada perbedaan antara kedua agama itu dalam menyikapi fakta yang sama, khususnya bagian yang oleh pihak Kristen disebut sebagai The Old Testament atau Perjanjian Lama. Istilah “Old Testament” ditolak oleh Yahudi karena istilah itu mengandung makna, perjanjian (covenant atau testament) Tuhan dengan Yahudi adalah Perjanjian Lama (Old Testament) yang sudah dihapus dan digantikan dengan “Perjanjian Baru” (New Testament), dengan kedatangan Jesus yang dipandang kaum Kristen sebagai Juru Selamat. Yahudi menolak klaim Jesus sebagai juru selamat manusia. 1
Bagi Yahudi, yang disebut sebagai Bibel adalah 39 Kitab dalam ‘Perjanjian Lama’-nya kaum Kristen, dengan sedikit perbedaan susunan. Yahudi menyebut Kitabnya ini sebagai Bible atau Hebrew Bible atau Jewish Bible. Kedudukan Bibel, yang didalamnya termuat Torah, bagi kaum Yahudi adalah sangat vital. Louis Jacobs, seorang teolog Yahudi merumuskan: “A Judaism without God is no Judaism. A Judaism without Torah is no Judaism. A Judaism without Jews is no Judaism.” Yang disebut Torah adalah lima kitab pertama dalam Hebrew Bible, yaitu Genesis (Kejadian), Exodus (Keluaran), Leviticus (Imamat), Numbers (Bilangan), dan Deuteronomy (Ulangan). 2
Meskipun Hebrew Bible merupakan kitab yang sangat tua dan mungkin paling banyak dikaji manusia, tetapi tetap masih merupakan misteri hingga kini. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis Kitab ini masih merupakan misteri. (It is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our civilization). Ia mencontohkan, the Book of Torah, atau The Five Book of Moses, diduga ditulis oleh Moses. Book of lamentation ditulis Nabi Jeremiah. Separoh Mazmur (Psalm) ditulis King David. Tetapi, kata Friedman, tidak seorang pun tahu, bagaimana penyandaran itu memang benar. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia (It is one of the oldest puzzles in the world). Tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses adalah penulisnya. Sementara di dalamnya dalam teks-nya dijumpai banyak kontradiksi. 3
Tentang problem otentisitas Bibel Yahudi – yang juga dijadikan oleh kaum Kristen sebagai Perjanjian Lama-nya – Th. C. Vriezen menulis:
“Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi jika hendak membahas bahan sejarah Perjanjian Lama secara bertanggung jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses sejarah ada banyak sumber kuno yang diterbitkan ulang atau diredaksi (diolah kembali oleh penyadur). Proses penyaduran turun-temurun itu ada untung ruginya. Salah satu keuntungannya ialah bahwa sumber-sumber kuno itu dipertahankan dan tidak hilang atau terlupakan. Namun, ada kerugiannya yaitu adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam naskah, sehingga sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam naskah historis itu yang orisinal (asli) dan bagian mana yang merupakan sisipan.” 4

Problema lain dalam Hebrew Bible adalah soal standar moral para tokohnya. David, the King of Israel, digambarkan melakukan tindakan keji dengan melakukan perzinahan dengan Batsheba dan menjerumuskan suaminya, Uria, ke ujung kematian. Akhirnya, ia mengawini Batsheba dan melahirkan Solomon. Harper’s Bible Dictionary, mencatat sosok David sebagai: “The most powerful King of Biblical Israel.” Namun, David bukanlah sosok yang patut diteladani dalam berbagai hal. A Dictionary of the Bible mengungkap sederet kejanggalan perilaku dan moralitas David, sebagaimana tersebut dalam Bibel. Peperangan-peperangan yang dilakukannya, terkadang diikuti dengan kekejaman yang ganas. Dan dosa besarnya, adalah perzinahannya dengan seorang perempaun cantik bernama Batsheba, yang ketika itu masih menjadi istri sah dari anak buahnya sendiri. “The great sins of his life, his adultery with Batsheba and murder of Uriah, are perhaps but the common crimes of an oriental despot; but so far as we can judge, they were not common to Israel, and David as well as his subjects knew of a higher moral standard.” 5 Kasus perzinahan dan perselingkuhan banyak tersebar dalam Bibel. Judah (Yehuda), tokoh Israel, anak Jacob dari Lea, berzina dengan menantunya sendiri yang bernama Tamar (Kejadian 38:1-11 dan 15-18). Juga, Amon bin David diceritakan memerkosa adiknya sendiri. Kisah ini dengan sangat panjang dan secara terperinci diceritakan dalam 2 Samuel 13:1-22. Padahal, hukuman bagi pezina menurut Kitab Imamat 20, adalah hukuman mati.
Kajian ilmiah terhadap teks Perjanjian Baru (The New Testament) yang berkembang pesat dikalangan teologi Kristen serta fakta sejarah dan sains dalam Bibel membuktikan banyaknya problema yang dihadapi. Dua pakar Yahudi, Israel Finkelstein dan Neil Asher Silberman, tahun 2002 lalu menulis buku: The Bible Unearthed: Archaelogy’s New Vision of Ancient Israel and the Origin of Its sacred Texts. Isinya memberikan kritik yang tajam terhadap berbagai data sejarah dalam Hebrew Bible. Profesor Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Salah satu bukunya yang berjudul “The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration” (Oxford University Press, 1985) menunjukkan problematika teks yang serius. Dalam pembukaan bukunya yang lain berjudul “A Textual Commentary on the Greek New Testament”, (terbitan United Bible Societies, corrected edition tahun 1975), Metzger menjelaskan adanya dua kondisi yang selalu dihadapi oleh interpreter Bibel, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bibel yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, dan berbeda satu dengan lainnya.
Dalam bukunya itu Metzger menjelaskan bahwa The New Testament yang asalnya berbahasa Yunani (Greek) itu mengalami problem kanonifikasi yang rumit. Banyaknya manuskrip menyebabkan keragaman versi Bibel teks tidak dapat dihindari. Hingga kini, ada sekitar 5000 manuskrip teks Bibel dalam bahasa Greek, yang berbeda satu dengan lainnya. Cetakan pertama The New Testament bahasa Greek terbit di Basel pada 1516, disiapkan oleh Desiderius Erasmus. (Ada yang menyebut tahun 1514 terbit The New Testament edisi Greek di Spanyol). Karena tidak ada manuskrip Greek yang lengkap, Erasmus menggunakan berbagai versi Bibel untuk melengkapinya. Untuk Kitab Wahyu (Revelation) misalnya, ia gunakan versi Latin susunan Jerome, Vulgate. Padahal, teks Latin itu sendiri memiliki keterbatasan dalam mewakili bahasa Greek. 6 Dalam bukunya yang lain, The Early Versions of the New Testaments, Metzger mengutip tulisan Bonifatius Fischer, yang berjudul, “Limitation of Latin in Representing Greek”: “Although the Latin language is in general very suitable for use in making a translation from Greek, there still remain certain features which can not be expressed in Latin.” 7
Memang bahasa asli Bibel menjadi salah satu sebab penting timbulnya persoalan makna-makna dalam teks itu dan sudah tentu interpretasinya. Tahun 1519, terbit edisi kedua Teks Bibel dalam bahasa Yunani. Teks ini digunakan oleh Martin Luther dan William Tyndale untuk menerjemahkan Bibel dalam bahasa Jerman (1522) dan Inggris (1525). Tahun-tahun berikutnya banyak terbit Bibel bahasa Greek yang berbasis pada teks versi Byzantine. Antara tahun 1516 sampai 1633 terbit sekitar 160 versi Bibel dalam bahasa Greek. Dalam edisi Greek ini dikenal istilah Textus Receptus yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan Abraham Elzevier. Namun, edisi ini pun tidak jauh berbeda dengan 160 versi lainnya. Meskipun sekarang telah ada kanonifikasi, tetapi menurut Metzger, adalah mungkin untuk menghadirkan edisi lain dari The New Testament. (the way is open for the possible edition of another book or epistle to the New Testament canon). 8 Jadi karena Bibel asli tidak ditemukan maka teks standar untuk membuat berbagai versi pun tidak ada. Problem teks Bibel ini diperparah lagi oleh tradisi Kependetaan (Rabbanic Tradition) yang memberikan kuasa agama secara penuh kepada gereja.

Studi kritik Bibel

Dalam tradisi Kristen, studi tentang kritik Bibel dan kritik teks Bibel memang telah berkembang pesat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”. Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadap Teks Bibel. Juga, Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972). Oxford Concise Dictionary of the Christian Church” (Oxford University Press, 1996) menulis tentang ‘critical study of the Bibel’ yang berkembang pesat abad ke-19: “It sets out from the belief that an ancient writing must be interpreted in its historical perspective and related to the circumstances of its composition and its meaning and purpose for its author and first readers.” Reginald H. Fuller, dalam bukunya berjudul A Critical Introduction to the New Testament, (London: Gerald Duckworth & Co Ltd, 1979), menulis: “That is why if we are to understand what the New Testament texts were meant to say by the authors when they were first written… we must first understand the historical situation in which they were first written.”
Fenomena dalam tradisi Kristen itu sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam tradisi Islam. Kaum Muslim, sepanjang sejarahnya, tidak pernah menggugat atau mempersoalkan otentisitas teks al-Quran. Kaum Muslim yakin, bahwa al-Quran adalah – lafdhan wa ma’nan – dari Allah SWT. Al-Quran telah tercatat dengan baik sejak masa Nabi Muhammad saw. Catatan al-Quran berbeda dengan al-hadith. Bahkan, untuk menjaga otentisitas dan kemurnian al-Quran, Nabi Muhammad saw pernah menyatakan: “Jangan tulis apa pun yang berasal dari ku kecuali al-Quran, dan siapa pun yang telah menulis dari ku selain al-Quran, hendaklah ia menghapusnya.” 9
Ada sebagian kalangan yang dengan keliru mencoba menyamakan – sadar atau tidak -- antara problema teks Bibel dengan al-Quran. Padahal, Bibel (The New Testament) ditulis antara tahun 60-90 M, atau sekitar 30-60 tahun setelah masa Jesus. John Young, dalam Christianity, menyebut bahwa Gospel Markus adalah yang tertua dan selesai ditulis sekitar tahun 65 M. Sedangkan Dr. C. Groenen OFM, dalam bukunya, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, menulis: “Karangan tertua (1Tes) ditulis sekitar th. 41 dan yang terakhir (entah yang mana) sekitar th. 120.” 10
Dalam bukunya, Groenen menjelaskan perbedaan antara Konsep al-Quran sebagai ‘firman Allah’ dan Bibel sebagai ‘firman Allah’. Dia menulis, bahwa di kalangan Kristen, Bibel juga disebut ‘firman Allah yang tertulis’. Tetapi, beda dengan al-Quran, Bibel adalah “Kitab suci yang diinspirasikan oleh Allah.” 11 Tentang makna “inspirasi”, Groenen menulis:
“Kadang kadang “inspirasi” itu diartikan seolah-olah Allah “berbisik-bisik” kepada penulis. Seolah-olah Allah mendiktekan apa yang harus ditulis. Lalu orang berkata bahwa Kitab Suci mirip dengan “suara rekaman”. Boleh jadi saudara-saudara muslimin dapat memahami kiasan macam itu sehubungan dengan al-Quran. Tetapi, ucapan itu kurang tepat kalau dipakai sehubungan dengan Alkitab umat Kristen. Sejarah terbentuknya Alkitab memustahilkan kiasan semacam itu. Adakalanya orang sampai menyebut Kitab Suci sebagai “surat Allah kepada umat-Nya”. Tetapi pikiran itu sedikit kekanak-kanakan dan tidak sesuai dengan kenyataan. Tidak dapat dikatakan bahwa (semua) penulis suci “mendengar suara Allah yang mendiktekan” sesuatu. Mereka malah tidak sadar bahwa sedang menulis Kitab Suci!” 12

Masalah “inspirasi” ini mendapat kajian luas dalam studi Bibel. Stefen Leks, dalam bukunya, Inspirasi dan Kanon Kitab Suci, menulis sejarah panjang perdebatan dan pemahaman di kalangan Kristen tentang makna “inspirasi” itu. Akhirnya, setelah mengoleksi sejumlah pendapat tokoh-tokoh Gereja tentang makna “inspirasi”, penulis buku ini menulis satu sub bab berjudul: “Inspirasi: Masalah Yang Belum Tuntas”. Ditulis dalam buku ini:
“Dalam “The Catholic Biblical Quarterly” 1982, No. 44, Thomas A. Hoffman SJ (Inspiration, Normativeness, Canonicity and the Unique Sacred Character of the Bibel) menulis bahwa ajaran tentang inspirasi biblis telah memasuki masa yang sulit. Pada tahun 50-an dan awal 60-an, beberapa ahli Katolik ternama (K. Rahner, JL Mckenzie, P. Benoit, LA Schoekel) bukan hanya menyibukkan diri dengan masalah inspirasi, melainkan juga mencetuskan sejumlah gagasan baru. Tetapi kini, sejmlah besar teolog berpendapat bahwa masalah itu sesungguhnya tak terpecahkan. (“there is no solution to this problem”).” 13

Dalam bukunya ini, Laks juga mengutip ungkapan C. Groenen: “Apa itu inspirasi dan bagaimana jadinya, kurang jelas!”… “Konsili Vatikan II membiarkan halnya kabur dan hanya berkata tentang beberapa akibat inspirasi yang menyangkut hasilnya. Antara lain, secara tradisional, Allah dikatakan “author” (=pengarang) Kitab Suci, tetapi entahlah bagaimana kata itu mesti dipahami.” Selain itu, “Vatikan II menggarisbawahi bahwa inspirasi tidak mematikan aktivitas pribadi para penulis, sehingga betapa suci pun Alkitab, ia tetap manusiawi (bdk. DV, No. 13).” 14
Stefen Laks juga membahas satu masalah yang menarik tentang “ketidaksalahan” Bibel. Dia menulis, bahwa berabad-abad lamanya Gereja Katolik menggunakan jargon “sine ullo errore” (tanpa kekeliruan apa pun). Selama berabad-abad Gereja lebih sering berbicara tentang Kitab Suci yang tidak keliru, daripada tentang kebenarannya. Setelah keluarnya Konstitusi ‘Dei Verbum’ dalam Konsili Vatikan II, Gereja mulai lebih mementingkan kebenaran Kitab Suci, daripada ketidaksesatannya. Selanjutnya ditulis:
“Buku ini tidak dipandang lagi sebagai kumpulan kebenaran semata-mata melainkan lebih-lebih sebagai karya ajaib yang penuh dinamika. Kitab Suci bukan pertama-tama buku pengajaran belaka melainkan lebih-lebih buku kebenaran yang menyelamatkan. Kebenaran dalam arti demikian melekat pada teks-teks asli Kitab Suci saja (yang tentu saja tidak ada lagi!), sedangkan segala terjemahannya turut serta dalam nilai utama Kitab Suci itu sejauh dengan setia mengungkapkan apa yang diinspirasikan Allah dan diungkapkan dalam teksnya. Ketidakkeliruan melekat pada keseluruhan Kitab Suci, bukan pada penulis kitab tertentu ataupun pada kitab tertentu saja. Ketidakkeliruan dalam arti mutlak hanya melekat pada kebenaran penuh yaitu Yesus Kristus.” 15

Dengan kondisi teks Bibel seperti itu, maka, secara prinsip, teks al-Quran tidak mengalami problema sebagaimana problema yang dialami teks Bibel. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The Making of an Image, menegaskan: “The Quran has no parallel outside Islam.” 16 Di kalangan Kristen, hanya kelompok fundamentalis saja yang masih mempercayai bahwa Bibel adalah ‘The Word of God/dei verbum’. 17
I.J. Satyabudi, alumnus Universitas Kristen Satya Wacana, menulis dalam bukunya, Kontroversi Nama Allah, bahwa penemuan arkeologi biblika sejak tahun 1890 M, sampai 1976 M, telah menghasilkan 5366 temuan naskah-naskah purba kitab Perjanjian Baru berbahasa Yunani yang berasal dari tahun 135 M sampai tahun 1700 M yang terdiri dari 3157 manuskrip yang bervariasi ukurannya; mulai dari yang dari secarik kecil seukuran kartu kredit dari Papirus tahun 135 M sampai dengan manuskrip berisi keseluruhan kitab Perjanjian Baru yang berasal dari Kodek Perkamen tahun 340 M; dan 2209 leksionari yang berisi perikop Perjanjian Baru yang digunakan sebagai bacaan liturgi di Gereja. Dari 5366 salinan naskah itu, jika diperbandingkan, beberapa sarjana Perjanjian Baru menyebutkan adanya 50.000 perbedaan kata-kata. Bahkan ada beberapa sarjana yang menyebutkan angka 200.000-300.000 perbedaan kata-kata. Jadi, simpul IJ Satyabudi, “Maka, dari ke-3 angka perbedaan kata-kata di atas mana pun yang kita pilih akan tetap menghasilkan sebuah kesimpulan, yaitu sebuah kenyataan bahwa perbedaan kata-kata yang ada dalam ke-5366 nskah-naskah tersebut berkisar antara ½ -- 2 kali lebih banyak jika dibandingkan dengan 138.162 kata yang ada dalam Kitab Perjanjian Baru itu sendiri.” 18

Pengaruhnya ke dalam Islam

Melihat kondisi Bibel semacam itu, sebagian cendekiawan Kristen kemudian berupaya mengajak kaum Muslim juga untuk juga mengkritisi teks al-Quran sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, semisal oleh Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris. Pada tahun 1927, ia menulis:
“The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).” 19

Setelah itu, berbondong-bondonglah orientalis yang melakukan kajian kritis terhadap teks al-Quran, sebagaimana sudah terjadi pada Bibel. Menurut mereka, bukankah al-Quran juga sebuah “teks” yang tidak berbeda dengan “teks Bibel”. Toby Lester dalam The Atlantic Monthly, Januari 1999, mengutip pendapat Gerd R. Joseph Puin, seorang orientalis pengkaji al-Quran, yang menyarankan perlunya ditekankan soal aspek kesejarahan al-Quran. “So many Muslims have this belief that everything between the two covers of the Koran is just God’s unaltered word,” (Dr. Puin) says. “They like to quote the textual work that shows that The Bible has a history and did not fall straight out of the sky, but until now the Koran has been out of this discussion. The only way to break through this wall is to prove that the Koran has a history too.”
Jadi, orang seperti Lester ini ingin agar kaum Muslim melepaskan keyakinannya, bahwa al-Quran adalah kata-kata Tuhan (kalam Allah) yang tidak berubah. Untuk menjebol tembok keyakinan umat Islam itu, menurut Puin, maka harus dibuktikan bahwa al-Quran juga memiliki aspek kesejarahan. Aspek historisitas al-Quran inilah yang harus ditekankan dalam pengkajian al-Quran, sebagaimana juga telah dilakukan orang-orang Kristen dan Yahudi di Barat terhadap Bibel.
Disamping merujuk kepada sederet orientalis, Lester juga menyatakan kegembiraannya bahwa di dunia Islam, sejumlah orang telah melakukan usaha “revisi” terhadap paham tentang teks al-Quran sebagai kalam Allah. Diantaranya, ia menyebut nama Nasr Hamid Abu Zaid, Arkoun, dan beberapa lainnya.
Michael Cook, dalam bukunya, The Koran: A Very Short Introduction, (2000:44), mengutip pendapat Nasr Hamid Abu Zayd – yang dia tulis sebagai “a Muslim secularist” – tentang al-Quran sebagai produk budaya: “If the text was a message sent to the Arabs of the seven century, then of necessity it was formulated in a manner which took for granted historically specific aspects of their language and culture. The Koran thus took shape in human setting. It was a ‘ cultural product’ – a phrase Abu Zayd used several times, and which was highlighted by the Court of Cassation when it determined him to be an unbeliever. 20
Mohammed Arkoun juga tercatat sebagai sarjana yang aktif mengajak kaum Muslim untuk mengkritisi al-Quran. Bahkan, ia secara terang-terangan menyayangkan, mengapa kaum Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Kata Arkoun:
“Sayang sekali kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci – yang telah diaplikasikan kepada Bibel Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu, terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan Muslim.” 21

Sebagian kalangan Kristen, juga mengimbau dengan halus, agar kaum Muslim modern meninggalkan konsep lama mereka tentang al-Quran, bahwa teks al-Quran adalah Kalamullah, lafazh dan maknanya dari Allah SWT, dan sama sekali bebas dari unsur manusiawi, termasuk redaksi dari Nabi Muhammad saw. Michel J. Scanlon (Professor of systematic theology at the Washington Theological Union and president of the Catholic Theological Society of America), menyatakan, bahwa, karakter absolut al-Quran sebagai Kata-kata Tuhan adalah sikap tradisional kaum Muslim ortodoks (The absolute character of the Quran as the Word of God is a traditional tenet of Islamic orthodoxy). Ia mendukung gagasan, sebagaimana dalam Bibel, bahwa al-Quran adalah “reception of revelation”, sejenis inspirasi dari wahyu, sebagaimana dalam konsep Kristen. 22
Hans Kung, pakar teologi Kristen, juga mengusulkan agar kaum Muslimin mau mengakui elemen kemanusiaan yang ikut bermain pada al-Quran. Kenneth Cragg, seorang pemimpin Gereja Anglikan, mendesak kaum Muslimin untuk memikirkan ulang konsep wahyu tradisional Islam, sebagai konsesi kaum Muslimin dalam semangat pluralisme dialog antar agama saat ini. 23
Perbedaan “konsep teks” antara al-Quran dan Bibel ini perlu dicermati oleh para cendekiawan Muslim, sebab ini akan berdampak pada penggunaan metode penafsiran. Para pemikir modernis atau post-modernis, sebagaimana Arkoun, Abu Zayd, Amina Wadud, telah melakukan generalisasi konsep teks, ketika mengadopsi teori-teori hermeneutika -- yang biasa diterapkan untuk Bibel -- untuk penafsiran al-Quran. Padahal, ada karakter yang sangat berbeda antara konsep teks al-Quran dan Bibel, begitu juga dengan metodologi penafsirannya.
Sebagai contoh, dilakukannya pengembangan metodologi “tafsir kontekstual” yang keluar dari makna teks sama sekali, sehingga menghasilkan produk hukum yang sama sekali baru. Problem teks Bibel telah melahirkan banyak teori penafsiran yang bersifat kontekstual dan keluar dari makna teks secara literal. Secara serampangan, istilah “literalis” dan “kontekstualis” yang lahir dari tradisi Bibel ini kemudian juga diaplikasikan untuk kaum Muslim. Peradaban Islam sering disebut sebagai peradaban teks (hadharah al-nash), sehingga ada sebagian kalangan cendekiawan yang dengan mudahnya mengatakan, “Kita jangan mau dijajah oleh teks”.
Sikap seperti ini bisa berlaku pada ilmuwan Barat, yang memang tidak lagi mempunyai teks suci untuk dijadikan pegangan. Mereka menolak teks Bibel, dan menggunakan segala cara agar teks Bibel itu tidak mengikat kehidupan mereka. Itu terjadi dalam kasus perzinahan, homoseksual, dan juga berbagai makanan yang diharamkan dalam Bibel. Ini sudah berlaku sejak dulu. The Letter of Barnabas (sekitar 100 M), misalnya, menginterpretasikan undang-undang tentang makanan dalam Kitab Imamat (Leviticus), bukan sebagai larangan untuk memakan daging hewan tertentu, tetapi lebih merupakan sifat-sifat buruk yang secara imajinatif diasosiasikan dengan hewan-hewan itu. Jika dibaca dalam Bibel, Kitab Imamat 11:1-46, disebutkan daftar binatang yang haram dimakan, seperti unta, pelanduk, kelinci, babi, 24 burung rajawali, burung onta, burung camar, elang, burung pungguk, tikus, katak, landak, biawak, bengkarung, siput, dan bunglon. “Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram itu semuanya bagimu.” (ayat 8). Dalam Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2000, pasal 11 ini diletakkan di bawah tajuk “Binatang yang haram dan yang tidak haram.” Dalam ayat 35 disebutkan: “Kalau bangkai seekor dari binatang-binatang itu jatuh ke atas sesuatu benda, itu menjadi najis; pembakaran roti dan anglo haruslah diremukkan, karena semuanya itu najis dan haruslah najis juga bagimu.” 25
Bisa dibayangkan, jika konsep makanan haram dan najis, ini diterapkan secara literal, apa jadinya orang Barat yang hobi makan babi dan memakan binatang yang jelas-jelas diharamkan dalam Bibel. Dengan kondisi faktual teks Bibel semacam itu, jelas sekali penafsiran secara literal tidak memungkinkan, sehingga hanya kalangan Kristen fundamentalis yang sangat naif, yang menafsirkan Bibel secara literal. 26
Kondisi dan problem teks Bibel semacam itu tentu sangat berbeda dengan teks al-Quran. Tentang makanan haram, misalnya, jelas dikatakan dalam al-Quran, bahwa babi itu haram dimakan. Teks-nya jelas: “Diharamkan bagimu bangkai, darah, dan daging babi.” (QS Al-Maidah:3). Tidak ada masalah bagi umat Islam memahami ayat itu secara tekstual, sebab memang secara teks, babi itu diharamkan. Tidak ada perbedaan teks dalam soal ini. Karena al-Quran adalah berbahasa Arab, dan selain yang berbahasa Arab bukanlah al-Quran. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, bahwa babi adalah haram. Dan pemahaman itu dilakukan dengan melalui penafsiran secara tekstual. Kaum Muslimin selama ini juga paham, bahwa banyak ayat-ayat al-Quran yang tidak dapat dipahami secara tekstual begitu saja. Misalnya, ayat dalam surat al-Jumuah: “Fa idzaa qudhiyatishshalaatu fa intasharuu fi al-ardhi” (apabila selesai ditunaikan salat (Jumat), maka bertebaranlah kamu di muka bumi), oleh kaum Muslimin tidak dipahami bahwa setelah usai menunaikan salat Jumat maka mereka diwajibkan untuk bertebaran di muka bumi, dan tidak boleh tinggal berdiam diri di Masdjid. Meskipun redaksi ayat itu adalah perintah (fiil amar), tetapi tidak dipahami secara tekstual, bahwa bertebaran di muka bumi setelah salat Jumat adalah wajib.
Jadi, al-Quran memang memiliki konsep teks dan metode penafsiran sendiri, yang berbeda dengan Bibel dan kitab-kitab lainnya. Masalah tafsir insyaallah akan di bahas dalam perkuliahan di masa mendatang. Wallahu a’lam.

(Disampaikan dalam kuliah di Pasca Sarjana Program Studi Timur Tengah dan Islam—Universitas Indonesia, Salemba, 20 September 2006).


1 CM Pilkington, Judaism, (London: Hodder Headline Ltd., 2003), hal. 17-20.

2 CM Pilkington, Judaism, hal. 13.

3 Richard Elliot Friedman, Who Wrote the Bible, (New York: Perennial Library, 1989), hal. 15-17.

4 Th.C.Vriezen, Agama Israel Kuno, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 2001), hal. 7.

5 Paul J. Achtemeier (ed), Harper’s Bible Dictionary, (New York: Harper San Francisco, 1985), hal. 208; James Hastings (ed), A Dictionary of the Bible, (Edinburg: T&T Clark, Edinburg, 1910), Vol 1, hal. 572.Kisah perzinahan David dengan Batsheba dan jebakannya terhadap Uria diceritakan dalam 2 Samuel 11:2-5 dilanjutkan ayat 13-17.

6 Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament”, (Stutgard: United Bible Societies, 1975), hal. xiii-xxi. Juga, Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972), hal. 40.

7 Bruce M. Metzger, The Early Versions of the New Testaments, (Oxford: Clarendon Press, 1977), hal. 362-365.
8 Bruce M. Metzger, The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance, (Oxford:Clarendon Press, 1987), hal. 273; juga lihat, Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament”, hal. xxii-xxiv.

9 Makna hadith ini telah banyak dibahas pakar hadith. Imam Bukhari menyatakan, bahwa itu adalah ungkapan pribadi Abu Sa’id al-Khudri, karena bertentangan dengan banyak hadith lainnya. Bisa juga dipahami, bahwa larangan Nabi tersebut bersifat khusus, dalam kondisi atau untuk orang tertentu, sebab pada saat yang sama Nabi juga memerintahkan pencatatan tentang berbagai hal, seperti surat-surat beliau kepada sejumlah kepala negara. Bisa jadi, yang dilarang adalah mencatat al-Quran dan hadith di tempat yang sama. Lihat: M.M. Azhami, Studies in Early Hadith Literature, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2000), hal. 21-24. Kajian yang komprehensif tentang otentisitas Mushaf Utsmani dan perbadingannya dengan Bible, bisa dilihat buku The History of the Qur’anic Text, karya Musthafa A’zhami.
10 Young, Paul, Christianity, (London: Hodder Headline Ltd., 2003), hal. 57. Dr. C. Groenen OFM, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK, 1984), hal. 19.

11 Dalam doktrin Kristen dikatakan: “The whole Bible is given by inspiration of God.” Dalam I Korinthus 2:13, disebutkan, Paulus mengucapkan kata-kata yang diajarkan oleh Roh Kudus.” Lihat: Louis Berkhof, A Summary of Christian Doctrine, (London: The Banner of Truth Trust, 1978), hal. 16-17.

12 C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, hal. 27.

13 Stefen Leks, Inspirasi dan Kanon Kitab Suci, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 128.
14 Ibid, hal. 128-129. Cetak tebal dari penulis. Ungkapan Groenen ini perlu digarisbawahi, sebab konsep “wahyu yang telah memanusia dan menyejarah” dari Kristen inilah yang tampak mempengaruhi pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd, sehingga juga mendasari konsep barunya tentang al-Quran yang dia katakan sebagai produk budaya. Dengan begitu, dia bisa menerapkan metode kajian historis kritis terhadap teks al-Quran.

15 Stefen Leks, Inspirasi dan Kanon Kitab Suc, hal. 94-95.
16 Norman Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, (Oxford: Oneworld Publications, 1997), hal. 53.

17 Hans Kung, "What Is True Religion?" dalam Leonard Swidler (ed), Toward a Universal Theology of Religion, (New York: Orbis Book, 1987), hal. 200-201.
18 I.J. Satyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta: Wacana Press, 2004), hal. 150-152.

19 Bulletin of the John Rylands Library (Manchester, 1927) XI: 77, seperti dikutip Dr. Syamsuddin Arif dalam artikelnya di Jurnal Al-Insan, edisi 1, Januari 2005, yang berjudul Al-Quran, Orientalisme, dan Luxenberg.

20 Pendapat Lester dan Cook dikutip dari buku The History of the Qur’anic Text, From Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testament, karya MusÏafa A’zhami (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), hal. 8-9.
21 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, dikutip dari buku Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Quran, hal. 63.

22 Michel J. Scanlon, “Fidelity to Monotheism”, ins Ellis, Kail C. (ed), The Vatican, Islam, and the Middle East, Syracuse University Press, Syracuse, 1987, pp. 27-41.

23 Dikutip dari M.M. A’zhami, The History of The Quranic Text (Terj.), hal. 354-355.

24 Tentang binatang babi ini cukup menarik jika dicermati sejumlah versi teks Kitab Imamat 11:7-8. Dalam Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), tahun 1971 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.” Tetapi, dalam Alkitab versi LAI tahun 2004, kata babi sudah berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.” Dalam teks bahasa Inggris, versi The New Jerusalem Bible (1985), ayat itu ditulis: “you will regard the pig as unclean, because though it has a cloven hoof, divided into two parts, it is not a ruminant. You will not eat the meat of these or touch their dead bodies; you will regard them as unclean.” Dari ketiga teks itu bisa dilihat, bagaimana problem teks Bible sangat rumit dan pelik, karena tidak ada kitab standar dalam rujukan penerjemahan Bible. Dalam Kamus Indonesia-Inggris karya John M. Echols dan Hassan Shadily (Jakarta: Gramedia, 1994), kata babi diterjemahkan menjadi pig, hog, pork. Sedangkan kata ‘babi hutan’ diterjemahkan dengan ‘wild boar’. Dalam Good News Bible, terbitan United Bible Sicieties, 1976, ayat itu ditulis: “Do not eat pigs. They must be considered unclean; they have devided hoofs, but do not clew the cud. Do not eat these animals or even touch their dead bodies; they are unclean.”

25 Contoh-contoh problematika teks Bible telah banyak saya paparkan dalam buku saya Tinjauan Historis Konflik Yahudi-Kristen-Islam (Jakarta: GIP, 2004).

26 Vatikan juga mengritik keras cara penafsiran literal ala kaum fundamentalis Kristen. Dikatakan, “…fundamentalisme cenderung menganggap bahwa teks alkitabiah seolah-olah didektekan kata demi kata oleh Roh Kudus. Mereka tidak mampu mengakui bahwa Sabda Allah telah dirumuskan dalam bahasa dan ungkapan manusia yang terbentuk melalui berbagai periode. Dengan demikian, mereka juga tidak memperhatikan bentuk-bentuk sastra dan cara berpikir manusiawi yang ditemukan dalam teks alkitabiah, yang sebagian besar merupakan hasil dari suatu proses yang panjang selama periode waktu yang panjang dan yang memuat tanda situasi-situasi historis yang sangat beragam.” (Lihat, Penafsiran Alkitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan, hal. 92-93). Paus Benediktus XVI, melalui bukunya, Biblical Interpretation in Crisis: The Ratzinger Conference on Bible and Church (1989), malah secara tajam menyatakan, bahaya fundamentalisme dalam penafsiran Bible. Ia mengajak untuk menafsirkan Bible dengan bijak sesuai konteks sejarah proses penyusunan teks Bible. (Libertus Jehani, Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman Katolik, (Jakarta: Sinondang Media, 2005), hal. 32.

No comments: