Monday, May 7, 2007

SCHUON DAN IDE ‘KESATUAN AGAMA’

SCHUON DAN IDE ‘KESATUAN AGAMA’

Oleh: Adnin Armas, MA

Wacana pluralisme agama, yang secara sederhana menolak klaim kebenaran satu agama tertentu, biasanya dihubungkan dengan wacana kesatuan transendental agama-agama (KTAA/transcendent unity of religions) rumusan Frithjof Schuon. Wacana ini membayangkan adanya titik temu antar-agama pada level esoteris. Gagasan itu mulanya distematisasikan oleh Schuon kemudian diamini oleh para sarjana lintas agama, dan kini secara luas, telah memberi nuansa baru dalam dialog antar agama.
Pengaruh Schuon sangat luas. Dalam buku The Essential Writings of Frithjof Schuon, terbitan Amity House New York, (1986:55-56), yang diedit oleh Murid Schuon bernama Seyyed Hossein Nasr, disebutkan, bahwa karya-karya Schuon telah mempengaruhi banyak pemikir muslim, seperti Syekh Abdul Halim Mahmud (bekas Rektor al-Azhar), Uthman Yahya, A.K. Brohi, Muhammad Ajmal, Yusuf Ibish, Martin Lings, dan tentu S.H. Nasr sendiri, dan sebagainya. Di Indonesia, buku-buku dan pemikiran Schuon juga banyak disebarkan. Pemikiran Schuon juga menarik minat pakar-pakar keagamaan Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dan Shinto. Tentu saja ini klaim Nasr, yang pendapatnya banyak dikutip kaum liberal untuk menjustifikasi gagasan ‘persamaan agama’.
Schuon adalah keturunan Jerman, lahir di Switzerland, tahun 1907, lalu menjadi warga negara Perancis. Ia kemudian memeluk Islam. Ia pergi ke Aljazair tahun 1932. Di situ ia mengenal sufi melalui Syekh al-Alawi. Tahun 1935, ia kembali ke Aljazair dan Maroko. Tahun 1938 ia ke Cairo. Di sinilah ia bertemu dengan Rene Guenon, mantan aktivis Freemason Perancis yang juga kemudian memeluk Islam, yang kemudian menjadi gurunya. Ia tidak pernah terlibat dalam dunia akademis. Sejak kecil Schuon sudah mengenal dan menyukai tentang “Timur”. Ia suka lagu-lagu Bagavad Gita dan buku Seribu Satu Malam. Juga, karya-karya metafisika Plato dan karya-karya Rene Guenon. Ia belajar bahasa Arab di sebuah masjid di Paris.
Apa motif Schuon dalam memeluk Islam dan kemudian menyebarkan gagasan KTAA, tidak bisa diketahui dari karya-karyanya. Yang jelas, gagasan ini cukup merepotkan kaum Muslim sendiri. Dalam paradigma KTAA ini, masing-masing agama tidak dibolehkan mengklaim memiliki kebenaran secara mutlak karena masing-masing mempunyai metode, jalan, shariah, tarikat, bentuk untuk mencapai yang Absolut. Semua agama sama dalam esensinya dan berbeda hanya di dalam bentuknya. Esensinya sama karena semuanya didasarkan kepada sumber yang sama, yang Absolut, dan bentuknya berbeda karena manifestasi ketika menanggapi yang Absolut.
Gagasan titik-temu antar agama merujuk kepada internal, batin, esoteris, yang berada di dalam wilayah transcendent, dan bukan di dalam bentuk, eksoteris (zahir). Sebagai hasilnya, semua agama memiliki kesahihan dan karenanya setiap agama memiliki metode sah untuk mencapai yang Absolut. (Lihat lebih lanjut Fritchof Schuon, The Transcendent Unity of Religions, Wheaton: The Philosophical Publishing House, 1984).
Jadi, menurut gagasan ini, setiap agama wahyu adalah the religion dan a religion. Kedua-duanya tidak boleh dipisah secara total. Kebenaran (Truth) itu terletak di luar bentuk-bentuk, sekalipun wahyu berasal dari Kebenaran yang termanifestasikan di dalam diversifikasi bentuk, yang terbatas dan berbeda.
Pemaparan ringkas di atas menunjukkan kesatuan transendental (transcendent unity) adalah istilah kunci dalam wacana titik-temu antar agama. Al-Attas, dalam karyanya Prolegomena to the Metaphysics of Islam (1995) mempertanyakan makna sebenarnya dari ‘kesatuan’ itu sendiri. Apakah ‘kesatuan’ itu berarti ‘persamaan’? Jika begitu, maka jelas keliru, sebab konsep Tuhan dalam Islam jelas berbeda dengan agama-agama lain.
Al-Quran menyebutkan: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam” (QS 5:17). Lihat juga (QS 5:72). Selain itu, al-Quran juga menyebutkan: “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga.” (QS 5: 73). Selain itu, al-Quran juga menyebutkan: Orang-orang Yahudi berkata Uzair itu putera Allah dan orang Nasrani berkata al-Masih itu putera Allah. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka. Bagaimana mereka sampai berpaling? (QS 9:30).
Jika yang di maksud dengan ‘kesatuan’ itu adalah adanya ‘ketidaksamaan’ dan ‘diversifikasi’ dalam level transcendent dan makna ‘kesatuan’ itu dimaksudkan sebagai keterkaitan antara bagian-bagian yang membentuk satu totalitas yang terpadu, maka posisi dan fungsi agama di situ adalah sebagai bagian (komponen) yang saling berkaitan dalam membentuk satu unity. Jika itu yang dimaksud dengan unity, maka dalam level eksoteris (zahir), dimana manusia memiliki keterbatasan - maka agama apa pun menjadi tidak sempurna, karena agama satu tidak dapat eksis dan menjalankan fungsinya tanpa agama lain.
Ini jelas pendapat yang salah, karena risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw mampu eksis dan menjalankan fungsinya tanpa agama lain. Justru kehadiran Islam adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan agama-agama para nabi sebelumnya yang telah berubah. Islam adalah sempurna (QS 5:3). Rasullullah saw adalah nabi yang diutus Allah untuk seluruh manusia dan sebagai rahmat untuk seluruh alam (QS 7:158, 21:107). Jadi, Islam adalah agama yang universal dan oleh sebab itu, kebenaran yang ada di dalam al-Quran tidak terbatas untuk orang-orang Muslim saja.
Jika yang dimaksud dengan ‘transendent’ itu adalah kondisi ontologis absolut, yang selalu tetap ada – maka pada tingkatan ini pun terdapat perbedaan mendasar antara Islam dengan agama-agama lain. Dalam kondisi ontologis yang absolut seperti itu, agama-agama lain memahami Tuhan sebagai rabb bukan ilah. Iblis juga memahami Tuhan sebagai rabb, bukan sebagai ilah. Jadi, mengetahui Tuhan sebagai rabb tidak berarti mengetahui-Nya sebagai ilah.
Banyak orang yang hanya memahami Tuhan sebagai rabb dalam level transcendent, sebagaimana kaum musyrik Arab dahulu. Akan tetapi memahami-Nya sebagai rabb akan salah, jika tidak diikuti dengan memahami-Nya sebagai ilah, yakni tidak menyekutukan-Nya dan tunduk kepada-Nya dengan cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui oleh-Nya seperti yang ditunjukkan oleh para rasul yg telah di utus-Nya. Jika hanya mengakui-Nya namun mengingkari cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui-Nya, maka seseorang itu akan disebut kafir karena ia tidak benar-benar berserah diri kepada-Nya.
Iblis yang mempercayai Tuhan yang satu, mengakui-Nya sebagai pencipta alam semesta, masih juga di sebut kafir disebabkan pengingkaran kepada perintah-Nya. Jadi, bentuk cara, jalan yang diperintah-Nya sama pentingnya dengan mengakui-Nya. Walaupun seseorang mengakui-Nya, namun tetap mengingkari perintah-Nya, maka orang tersebut tidak berserah diri kepada-Nya. Selain Iblis, kaum musyrik Arab terdahulu juga mengakui bahwa Allah-lah pencipta langit dan bumi, kendatipun mereka menyembah berhala.
Al-Quran menyebutkan: Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Niscaya mereka akan menjawab: semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui (QS 43:9). Dalam ayat yang lain juga disebutkan: Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab; Allah, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah). (QS 43:87).
Jadi, sekalipun kaum musyrik Arab terdahulu mengakui wujudnya Allah, namun tetap saja mereka tidak termasuk orang-orang yang beriman. Jadi, mangakui keberadaan-Nya, tanpa mau mematuhi perintah-Nya sebagaimana yang termanifestasikan dalam bentuk, jalan, cara yang dipersetujui-Nya, maka sesorang itu tetap masih berada dalam pengingkaran kepada-Nya.
Jika yang dimaksud dengan transendent itu adalah merujuk kepada kondisi psikologis pada level pengalaman (experience) dan kesadaran yang menurut pengikut konsep KTAA bisa ‘melampaui’ tingkatan pengalaman keagamaan masyarakat umum, maka makna ‘kesatuan’ seperti itu tidak dapat disebut sebagai ‘agama’, tetapi hanya merupakan pengalaman keagamaan (religious experience). Maka, untuk apa agama diturunkan kepada masyarakat dan seluruh manusia, jika dikatakan, mereka tidak pernah bisa sampai dan bersatu pada level transcendent itu? Jika memang level esoteris hanya bisa di raih oleh elit tertentu, maka gagasan KTAA seharusnya menjadi gagasan kesatuan transcendental pengalaman keagamaan. Namun, ini jelas salah, karena agama adalah untuk kepentingan masyarakat umum.
Jika kemudian yang di maksud dengan penganut KTAA dengan istilah ‘kesatuan’ itu adalah bukan bagian-bagian yang membentuk totalitas yang padu, tetapi merupakan ‘totalitas’ itu sendiri, maka ‘kesatuan’ itu bukan bermakna ‘kesamaan agama’.
Tapi, mereka sudah bicara tentang konsep Tuhan itu pada level transcendent dimana masing–masing agama dianggap sah di dalam bentuknya yang terbatas dan menyampaikan kebenaran yg sama secara terbatas pula. Pendapat ini pun tidak benar, masing-masing agama memiliki konsep Tuhan yang ekslusif atau berbeda satu sama lain.
Selain hal di atas, gagasan KTAA dikembangkan lebih jauh oleh sebagian kalangan dengan berargumentasi bahwa konsep syahadat bisa dibagi kepada dua level realitas: yaitu level absolut dan relatif. Syahadat pertama disebutnya absolut dan syahadat yang kedua adalah relatif. Muhammad saw adalah Rasul (perantara, manifestasi, simbol), yang bersifat relatif terhadap yang Absolut. Dalam pandangan Schuon, Muhammad (saw) adalah salah satu perantara dari para perantara (Rasul) yang lain. Artinya, bukan hanya Islam yang dibawa Muhammad (saw) saja yang sahih, tetapi juga agama-agama lain yang juga (mengaku) memiliki perantara.
Dari gagasan Schuon inilah dikembangkan, misalnya, pemikiran tentang Teologi Inklusif dan Pluralis. Jadi, jangan heran, jika banyak orang bicara tentang “persamaan agama”, sebenarnya tak lebih dari mengkopi gagasan Schuon dan pengikutnya (seperti SH Nasr, W. Chittik, Houston Smith, W.C. Smith, Martin Lings, Titus Burckhardt, Marco Pallis, dan lain-lain).
Jadi, mustinya kaum Muslim tidak mudah terpedaya dan silau oleh gagasan-gagasan yang seolah-olah baru dan hebat, padahal jelas-jelas bertentangan dengan konsepsi al-Quran. Wallahu a’lam. (***)

No comments: