Monday, May 7, 2007

SCHUON DAN IDE ‘KESATUAN AGAMA’

SCHUON DAN IDE ‘KESATUAN AGAMA’

Oleh: Adnin Armas, MA

Wacana pluralisme agama, yang secara sederhana menolak klaim kebenaran satu agama tertentu, biasanya dihubungkan dengan wacana kesatuan transendental agama-agama (KTAA/transcendent unity of religions) rumusan Frithjof Schuon. Wacana ini membayangkan adanya titik temu antar-agama pada level esoteris. Gagasan itu mulanya distematisasikan oleh Schuon kemudian diamini oleh para sarjana lintas agama, dan kini secara luas, telah memberi nuansa baru dalam dialog antar agama.
Pengaruh Schuon sangat luas. Dalam buku The Essential Writings of Frithjof Schuon, terbitan Amity House New York, (1986:55-56), yang diedit oleh Murid Schuon bernama Seyyed Hossein Nasr, disebutkan, bahwa karya-karya Schuon telah mempengaruhi banyak pemikir muslim, seperti Syekh Abdul Halim Mahmud (bekas Rektor al-Azhar), Uthman Yahya, A.K. Brohi, Muhammad Ajmal, Yusuf Ibish, Martin Lings, dan tentu S.H. Nasr sendiri, dan sebagainya. Di Indonesia, buku-buku dan pemikiran Schuon juga banyak disebarkan. Pemikiran Schuon juga menarik minat pakar-pakar keagamaan Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dan Shinto. Tentu saja ini klaim Nasr, yang pendapatnya banyak dikutip kaum liberal untuk menjustifikasi gagasan ‘persamaan agama’.
Schuon adalah keturunan Jerman, lahir di Switzerland, tahun 1907, lalu menjadi warga negara Perancis. Ia kemudian memeluk Islam. Ia pergi ke Aljazair tahun 1932. Di situ ia mengenal sufi melalui Syekh al-Alawi. Tahun 1935, ia kembali ke Aljazair dan Maroko. Tahun 1938 ia ke Cairo. Di sinilah ia bertemu dengan Rene Guenon, mantan aktivis Freemason Perancis yang juga kemudian memeluk Islam, yang kemudian menjadi gurunya. Ia tidak pernah terlibat dalam dunia akademis. Sejak kecil Schuon sudah mengenal dan menyukai tentang “Timur”. Ia suka lagu-lagu Bagavad Gita dan buku Seribu Satu Malam. Juga, karya-karya metafisika Plato dan karya-karya Rene Guenon. Ia belajar bahasa Arab di sebuah masjid di Paris.
Apa motif Schuon dalam memeluk Islam dan kemudian menyebarkan gagasan KTAA, tidak bisa diketahui dari karya-karyanya. Yang jelas, gagasan ini cukup merepotkan kaum Muslim sendiri. Dalam paradigma KTAA ini, masing-masing agama tidak dibolehkan mengklaim memiliki kebenaran secara mutlak karena masing-masing mempunyai metode, jalan, shariah, tarikat, bentuk untuk mencapai yang Absolut. Semua agama sama dalam esensinya dan berbeda hanya di dalam bentuknya. Esensinya sama karena semuanya didasarkan kepada sumber yang sama, yang Absolut, dan bentuknya berbeda karena manifestasi ketika menanggapi yang Absolut.
Gagasan titik-temu antar agama merujuk kepada internal, batin, esoteris, yang berada di dalam wilayah transcendent, dan bukan di dalam bentuk, eksoteris (zahir). Sebagai hasilnya, semua agama memiliki kesahihan dan karenanya setiap agama memiliki metode sah untuk mencapai yang Absolut. (Lihat lebih lanjut Fritchof Schuon, The Transcendent Unity of Religions, Wheaton: The Philosophical Publishing House, 1984).
Jadi, menurut gagasan ini, setiap agama wahyu adalah the religion dan a religion. Kedua-duanya tidak boleh dipisah secara total. Kebenaran (Truth) itu terletak di luar bentuk-bentuk, sekalipun wahyu berasal dari Kebenaran yang termanifestasikan di dalam diversifikasi bentuk, yang terbatas dan berbeda.
Pemaparan ringkas di atas menunjukkan kesatuan transendental (transcendent unity) adalah istilah kunci dalam wacana titik-temu antar agama. Al-Attas, dalam karyanya Prolegomena to the Metaphysics of Islam (1995) mempertanyakan makna sebenarnya dari ‘kesatuan’ itu sendiri. Apakah ‘kesatuan’ itu berarti ‘persamaan’? Jika begitu, maka jelas keliru, sebab konsep Tuhan dalam Islam jelas berbeda dengan agama-agama lain.
Al-Quran menyebutkan: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah ialah al-Masih putera Maryam” (QS 5:17). Lihat juga (QS 5:72). Selain itu, al-Quran juga menyebutkan: “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga.” (QS 5: 73). Selain itu, al-Quran juga menyebutkan: Orang-orang Yahudi berkata Uzair itu putera Allah dan orang Nasrani berkata al-Masih itu putera Allah. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka. Bagaimana mereka sampai berpaling? (QS 9:30).
Jika yang di maksud dengan ‘kesatuan’ itu adalah adanya ‘ketidaksamaan’ dan ‘diversifikasi’ dalam level transcendent dan makna ‘kesatuan’ itu dimaksudkan sebagai keterkaitan antara bagian-bagian yang membentuk satu totalitas yang terpadu, maka posisi dan fungsi agama di situ adalah sebagai bagian (komponen) yang saling berkaitan dalam membentuk satu unity. Jika itu yang dimaksud dengan unity, maka dalam level eksoteris (zahir), dimana manusia memiliki keterbatasan - maka agama apa pun menjadi tidak sempurna, karena agama satu tidak dapat eksis dan menjalankan fungsinya tanpa agama lain.
Ini jelas pendapat yang salah, karena risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw mampu eksis dan menjalankan fungsinya tanpa agama lain. Justru kehadiran Islam adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan agama-agama para nabi sebelumnya yang telah berubah. Islam adalah sempurna (QS 5:3). Rasullullah saw adalah nabi yang diutus Allah untuk seluruh manusia dan sebagai rahmat untuk seluruh alam (QS 7:158, 21:107). Jadi, Islam adalah agama yang universal dan oleh sebab itu, kebenaran yang ada di dalam al-Quran tidak terbatas untuk orang-orang Muslim saja.
Jika yang dimaksud dengan ‘transendent’ itu adalah kondisi ontologis absolut, yang selalu tetap ada – maka pada tingkatan ini pun terdapat perbedaan mendasar antara Islam dengan agama-agama lain. Dalam kondisi ontologis yang absolut seperti itu, agama-agama lain memahami Tuhan sebagai rabb bukan ilah. Iblis juga memahami Tuhan sebagai rabb, bukan sebagai ilah. Jadi, mengetahui Tuhan sebagai rabb tidak berarti mengetahui-Nya sebagai ilah.
Banyak orang yang hanya memahami Tuhan sebagai rabb dalam level transcendent, sebagaimana kaum musyrik Arab dahulu. Akan tetapi memahami-Nya sebagai rabb akan salah, jika tidak diikuti dengan memahami-Nya sebagai ilah, yakni tidak menyekutukan-Nya dan tunduk kepada-Nya dengan cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui oleh-Nya seperti yang ditunjukkan oleh para rasul yg telah di utus-Nya. Jika hanya mengakui-Nya namun mengingkari cara, metode, jalan dan bentuk yang dipersetujui-Nya, maka seseorang itu akan disebut kafir karena ia tidak benar-benar berserah diri kepada-Nya.
Iblis yang mempercayai Tuhan yang satu, mengakui-Nya sebagai pencipta alam semesta, masih juga di sebut kafir disebabkan pengingkaran kepada perintah-Nya. Jadi, bentuk cara, jalan yang diperintah-Nya sama pentingnya dengan mengakui-Nya. Walaupun seseorang mengakui-Nya, namun tetap mengingkari perintah-Nya, maka orang tersebut tidak berserah diri kepada-Nya. Selain Iblis, kaum musyrik Arab terdahulu juga mengakui bahwa Allah-lah pencipta langit dan bumi, kendatipun mereka menyembah berhala.
Al-Quran menyebutkan: Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Niscaya mereka akan menjawab: semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui (QS 43:9). Dalam ayat yang lain juga disebutkan: Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab; Allah, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah). (QS 43:87).
Jadi, sekalipun kaum musyrik Arab terdahulu mengakui wujudnya Allah, namun tetap saja mereka tidak termasuk orang-orang yang beriman. Jadi, mangakui keberadaan-Nya, tanpa mau mematuhi perintah-Nya sebagaimana yang termanifestasikan dalam bentuk, jalan, cara yang dipersetujui-Nya, maka sesorang itu tetap masih berada dalam pengingkaran kepada-Nya.
Jika yang dimaksud dengan transendent itu adalah merujuk kepada kondisi psikologis pada level pengalaman (experience) dan kesadaran yang menurut pengikut konsep KTAA bisa ‘melampaui’ tingkatan pengalaman keagamaan masyarakat umum, maka makna ‘kesatuan’ seperti itu tidak dapat disebut sebagai ‘agama’, tetapi hanya merupakan pengalaman keagamaan (religious experience). Maka, untuk apa agama diturunkan kepada masyarakat dan seluruh manusia, jika dikatakan, mereka tidak pernah bisa sampai dan bersatu pada level transcendent itu? Jika memang level esoteris hanya bisa di raih oleh elit tertentu, maka gagasan KTAA seharusnya menjadi gagasan kesatuan transcendental pengalaman keagamaan. Namun, ini jelas salah, karena agama adalah untuk kepentingan masyarakat umum.
Jika kemudian yang di maksud dengan penganut KTAA dengan istilah ‘kesatuan’ itu adalah bukan bagian-bagian yang membentuk totalitas yang padu, tetapi merupakan ‘totalitas’ itu sendiri, maka ‘kesatuan’ itu bukan bermakna ‘kesamaan agama’.
Tapi, mereka sudah bicara tentang konsep Tuhan itu pada level transcendent dimana masing–masing agama dianggap sah di dalam bentuknya yang terbatas dan menyampaikan kebenaran yg sama secara terbatas pula. Pendapat ini pun tidak benar, masing-masing agama memiliki konsep Tuhan yang ekslusif atau berbeda satu sama lain.
Selain hal di atas, gagasan KTAA dikembangkan lebih jauh oleh sebagian kalangan dengan berargumentasi bahwa konsep syahadat bisa dibagi kepada dua level realitas: yaitu level absolut dan relatif. Syahadat pertama disebutnya absolut dan syahadat yang kedua adalah relatif. Muhammad saw adalah Rasul (perantara, manifestasi, simbol), yang bersifat relatif terhadap yang Absolut. Dalam pandangan Schuon, Muhammad (saw) adalah salah satu perantara dari para perantara (Rasul) yang lain. Artinya, bukan hanya Islam yang dibawa Muhammad (saw) saja yang sahih, tetapi juga agama-agama lain yang juga (mengaku) memiliki perantara.
Dari gagasan Schuon inilah dikembangkan, misalnya, pemikiran tentang Teologi Inklusif dan Pluralis. Jadi, jangan heran, jika banyak orang bicara tentang “persamaan agama”, sebenarnya tak lebih dari mengkopi gagasan Schuon dan pengikutnya (seperti SH Nasr, W. Chittik, Houston Smith, W.C. Smith, Martin Lings, Titus Burckhardt, Marco Pallis, dan lain-lain).
Jadi, mustinya kaum Muslim tidak mudah terpedaya dan silau oleh gagasan-gagasan yang seolah-olah baru dan hebat, padahal jelas-jelas bertentangan dengan konsepsi al-Quran. Wallahu a’lam. (***)

PROBLEM TEKS BIBEL

PROBLEM TEKS BIBEL

Oleh: Adian Husaini, MA. Ph.D.

Istilah “Bible” digunakan oleh Yahudi dan Kristen. Keduanya – meskipun memiliki konflik yang panjang dalam sejarah – berbagi irisan dalam soal Bibel. Hingga kini Bible (Latin: Biblia, artinya ‘buku kecil’; Yunani: Biblos) biasanya dipahami sebagai Kitab Suci kaum Kristen dan Yahudi. Namun, ada perbedaan antara kedua agama itu dalam menyikapi fakta yang sama, khususnya bagian yang oleh pihak Kristen disebut sebagai The Old Testament atau Perjanjian Lama. Istilah “Old Testament” ditolak oleh Yahudi karena istilah itu mengandung makna, perjanjian (covenant atau testament) Tuhan dengan Yahudi adalah Perjanjian Lama (Old Testament) yang sudah dihapus dan digantikan dengan “Perjanjian Baru” (New Testament), dengan kedatangan Jesus yang dipandang kaum Kristen sebagai Juru Selamat. Yahudi menolak klaim Jesus sebagai juru selamat manusia. 1
Bagi Yahudi, yang disebut sebagai Bibel adalah 39 Kitab dalam ‘Perjanjian Lama’-nya kaum Kristen, dengan sedikit perbedaan susunan. Yahudi menyebut Kitabnya ini sebagai Bible atau Hebrew Bible atau Jewish Bible. Kedudukan Bibel, yang didalamnya termuat Torah, bagi kaum Yahudi adalah sangat vital. Louis Jacobs, seorang teolog Yahudi merumuskan: “A Judaism without God is no Judaism. A Judaism without Torah is no Judaism. A Judaism without Jews is no Judaism.” Yang disebut Torah adalah lima kitab pertama dalam Hebrew Bible, yaitu Genesis (Kejadian), Exodus (Keluaran), Leviticus (Imamat), Numbers (Bilangan), dan Deuteronomy (Ulangan). 2
Meskipun Hebrew Bible merupakan kitab yang sangat tua dan mungkin paling banyak dikaji manusia, tetapi tetap masih merupakan misteri hingga kini. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis Kitab ini masih merupakan misteri. (It is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our civilization). Ia mencontohkan, the Book of Torah, atau The Five Book of Moses, diduga ditulis oleh Moses. Book of lamentation ditulis Nabi Jeremiah. Separoh Mazmur (Psalm) ditulis King David. Tetapi, kata Friedman, tidak seorang pun tahu, bagaimana penyandaran itu memang benar. The Five Book of Moses, kata Friedman, merupakan teka-teki paling tua di dunia (It is one of the oldest puzzles in the world). Tidak ada satu ayat pun dalam Torah yang menyebutkan, bahwa Moses adalah penulisnya. Sementara di dalamnya dalam teks-nya dijumpai banyak kontradiksi. 3
Tentang problem otentisitas Bibel Yahudi – yang juga dijadikan oleh kaum Kristen sebagai Perjanjian Lama-nya – Th. C. Vriezen menulis:
“Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi jika hendak membahas bahan sejarah Perjanjian Lama secara bertanggung jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses sejarah ada banyak sumber kuno yang diterbitkan ulang atau diredaksi (diolah kembali oleh penyadur). Proses penyaduran turun-temurun itu ada untung ruginya. Salah satu keuntungannya ialah bahwa sumber-sumber kuno itu dipertahankan dan tidak hilang atau terlupakan. Namun, ada kerugiannya yaitu adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam naskah, sehingga sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam naskah historis itu yang orisinal (asli) dan bagian mana yang merupakan sisipan.” 4

Problema lain dalam Hebrew Bible adalah soal standar moral para tokohnya. David, the King of Israel, digambarkan melakukan tindakan keji dengan melakukan perzinahan dengan Batsheba dan menjerumuskan suaminya, Uria, ke ujung kematian. Akhirnya, ia mengawini Batsheba dan melahirkan Solomon. Harper’s Bible Dictionary, mencatat sosok David sebagai: “The most powerful King of Biblical Israel.” Namun, David bukanlah sosok yang patut diteladani dalam berbagai hal. A Dictionary of the Bible mengungkap sederet kejanggalan perilaku dan moralitas David, sebagaimana tersebut dalam Bibel. Peperangan-peperangan yang dilakukannya, terkadang diikuti dengan kekejaman yang ganas. Dan dosa besarnya, adalah perzinahannya dengan seorang perempaun cantik bernama Batsheba, yang ketika itu masih menjadi istri sah dari anak buahnya sendiri. “The great sins of his life, his adultery with Batsheba and murder of Uriah, are perhaps but the common crimes of an oriental despot; but so far as we can judge, they were not common to Israel, and David as well as his subjects knew of a higher moral standard.” 5 Kasus perzinahan dan perselingkuhan banyak tersebar dalam Bibel. Judah (Yehuda), tokoh Israel, anak Jacob dari Lea, berzina dengan menantunya sendiri yang bernama Tamar (Kejadian 38:1-11 dan 15-18). Juga, Amon bin David diceritakan memerkosa adiknya sendiri. Kisah ini dengan sangat panjang dan secara terperinci diceritakan dalam 2 Samuel 13:1-22. Padahal, hukuman bagi pezina menurut Kitab Imamat 20, adalah hukuman mati.
Kajian ilmiah terhadap teks Perjanjian Baru (The New Testament) yang berkembang pesat dikalangan teologi Kristen serta fakta sejarah dan sains dalam Bibel membuktikan banyaknya problema yang dihadapi. Dua pakar Yahudi, Israel Finkelstein dan Neil Asher Silberman, tahun 2002 lalu menulis buku: The Bible Unearthed: Archaelogy’s New Vision of Ancient Israel and the Origin of Its sacred Texts. Isinya memberikan kritik yang tajam terhadap berbagai data sejarah dalam Hebrew Bible. Profesor Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary, menulis beberapa buku tentang teks Perjanjian Baru. Salah satu bukunya yang berjudul “The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption, and Restoration” (Oxford University Press, 1985) menunjukkan problematika teks yang serius. Dalam pembukaan bukunya yang lain berjudul “A Textual Commentary on the Greek New Testament”, (terbitan United Bible Societies, corrected edition tahun 1975), Metzger menjelaskan adanya dua kondisi yang selalu dihadapi oleh interpreter Bibel, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bibel yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, dan berbeda satu dengan lainnya.
Dalam bukunya itu Metzger menjelaskan bahwa The New Testament yang asalnya berbahasa Yunani (Greek) itu mengalami problem kanonifikasi yang rumit. Banyaknya manuskrip menyebabkan keragaman versi Bibel teks tidak dapat dihindari. Hingga kini, ada sekitar 5000 manuskrip teks Bibel dalam bahasa Greek, yang berbeda satu dengan lainnya. Cetakan pertama The New Testament bahasa Greek terbit di Basel pada 1516, disiapkan oleh Desiderius Erasmus. (Ada yang menyebut tahun 1514 terbit The New Testament edisi Greek di Spanyol). Karena tidak ada manuskrip Greek yang lengkap, Erasmus menggunakan berbagai versi Bibel untuk melengkapinya. Untuk Kitab Wahyu (Revelation) misalnya, ia gunakan versi Latin susunan Jerome, Vulgate. Padahal, teks Latin itu sendiri memiliki keterbatasan dalam mewakili bahasa Greek. 6 Dalam bukunya yang lain, The Early Versions of the New Testaments, Metzger mengutip tulisan Bonifatius Fischer, yang berjudul, “Limitation of Latin in Representing Greek”: “Although the Latin language is in general very suitable for use in making a translation from Greek, there still remain certain features which can not be expressed in Latin.” 7
Memang bahasa asli Bibel menjadi salah satu sebab penting timbulnya persoalan makna-makna dalam teks itu dan sudah tentu interpretasinya. Tahun 1519, terbit edisi kedua Teks Bibel dalam bahasa Yunani. Teks ini digunakan oleh Martin Luther dan William Tyndale untuk menerjemahkan Bibel dalam bahasa Jerman (1522) dan Inggris (1525). Tahun-tahun berikutnya banyak terbit Bibel bahasa Greek yang berbasis pada teks versi Byzantine. Antara tahun 1516 sampai 1633 terbit sekitar 160 versi Bibel dalam bahasa Greek. Dalam edisi Greek ini dikenal istilah Textus Receptus yang dipopulerkan oleh Bonaventura dan Abraham Elzevier. Namun, edisi ini pun tidak jauh berbeda dengan 160 versi lainnya. Meskipun sekarang telah ada kanonifikasi, tetapi menurut Metzger, adalah mungkin untuk menghadirkan edisi lain dari The New Testament. (the way is open for the possible edition of another book or epistle to the New Testament canon). 8 Jadi karena Bibel asli tidak ditemukan maka teks standar untuk membuat berbagai versi pun tidak ada. Problem teks Bibel ini diperparah lagi oleh tradisi Kependetaan (Rabbanic Tradition) yang memberikan kuasa agama secara penuh kepada gereja.

Studi kritik Bibel

Dalam tradisi Kristen, studi tentang kritik Bibel dan kritik teks Bibel memang telah berkembang pesat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”. Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadap Teks Bibel. Juga, Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972). Oxford Concise Dictionary of the Christian Church” (Oxford University Press, 1996) menulis tentang ‘critical study of the Bibel’ yang berkembang pesat abad ke-19: “It sets out from the belief that an ancient writing must be interpreted in its historical perspective and related to the circumstances of its composition and its meaning and purpose for its author and first readers.” Reginald H. Fuller, dalam bukunya berjudul A Critical Introduction to the New Testament, (London: Gerald Duckworth & Co Ltd, 1979), menulis: “That is why if we are to understand what the New Testament texts were meant to say by the authors when they were first written… we must first understand the historical situation in which they were first written.”
Fenomena dalam tradisi Kristen itu sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam tradisi Islam. Kaum Muslim, sepanjang sejarahnya, tidak pernah menggugat atau mempersoalkan otentisitas teks al-Quran. Kaum Muslim yakin, bahwa al-Quran adalah – lafdhan wa ma’nan – dari Allah SWT. Al-Quran telah tercatat dengan baik sejak masa Nabi Muhammad saw. Catatan al-Quran berbeda dengan al-hadith. Bahkan, untuk menjaga otentisitas dan kemurnian al-Quran, Nabi Muhammad saw pernah menyatakan: “Jangan tulis apa pun yang berasal dari ku kecuali al-Quran, dan siapa pun yang telah menulis dari ku selain al-Quran, hendaklah ia menghapusnya.” 9
Ada sebagian kalangan yang dengan keliru mencoba menyamakan – sadar atau tidak -- antara problema teks Bibel dengan al-Quran. Padahal, Bibel (The New Testament) ditulis antara tahun 60-90 M, atau sekitar 30-60 tahun setelah masa Jesus. John Young, dalam Christianity, menyebut bahwa Gospel Markus adalah yang tertua dan selesai ditulis sekitar tahun 65 M. Sedangkan Dr. C. Groenen OFM, dalam bukunya, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, menulis: “Karangan tertua (1Tes) ditulis sekitar th. 41 dan yang terakhir (entah yang mana) sekitar th. 120.” 10
Dalam bukunya, Groenen menjelaskan perbedaan antara Konsep al-Quran sebagai ‘firman Allah’ dan Bibel sebagai ‘firman Allah’. Dia menulis, bahwa di kalangan Kristen, Bibel juga disebut ‘firman Allah yang tertulis’. Tetapi, beda dengan al-Quran, Bibel adalah “Kitab suci yang diinspirasikan oleh Allah.” 11 Tentang makna “inspirasi”, Groenen menulis:
“Kadang kadang “inspirasi” itu diartikan seolah-olah Allah “berbisik-bisik” kepada penulis. Seolah-olah Allah mendiktekan apa yang harus ditulis. Lalu orang berkata bahwa Kitab Suci mirip dengan “suara rekaman”. Boleh jadi saudara-saudara muslimin dapat memahami kiasan macam itu sehubungan dengan al-Quran. Tetapi, ucapan itu kurang tepat kalau dipakai sehubungan dengan Alkitab umat Kristen. Sejarah terbentuknya Alkitab memustahilkan kiasan semacam itu. Adakalanya orang sampai menyebut Kitab Suci sebagai “surat Allah kepada umat-Nya”. Tetapi pikiran itu sedikit kekanak-kanakan dan tidak sesuai dengan kenyataan. Tidak dapat dikatakan bahwa (semua) penulis suci “mendengar suara Allah yang mendiktekan” sesuatu. Mereka malah tidak sadar bahwa sedang menulis Kitab Suci!” 12

Masalah “inspirasi” ini mendapat kajian luas dalam studi Bibel. Stefen Leks, dalam bukunya, Inspirasi dan Kanon Kitab Suci, menulis sejarah panjang perdebatan dan pemahaman di kalangan Kristen tentang makna “inspirasi” itu. Akhirnya, setelah mengoleksi sejumlah pendapat tokoh-tokoh Gereja tentang makna “inspirasi”, penulis buku ini menulis satu sub bab berjudul: “Inspirasi: Masalah Yang Belum Tuntas”. Ditulis dalam buku ini:
“Dalam “The Catholic Biblical Quarterly” 1982, No. 44, Thomas A. Hoffman SJ (Inspiration, Normativeness, Canonicity and the Unique Sacred Character of the Bibel) menulis bahwa ajaran tentang inspirasi biblis telah memasuki masa yang sulit. Pada tahun 50-an dan awal 60-an, beberapa ahli Katolik ternama (K. Rahner, JL Mckenzie, P. Benoit, LA Schoekel) bukan hanya menyibukkan diri dengan masalah inspirasi, melainkan juga mencetuskan sejumlah gagasan baru. Tetapi kini, sejmlah besar teolog berpendapat bahwa masalah itu sesungguhnya tak terpecahkan. (“there is no solution to this problem”).” 13

Dalam bukunya ini, Laks juga mengutip ungkapan C. Groenen: “Apa itu inspirasi dan bagaimana jadinya, kurang jelas!”… “Konsili Vatikan II membiarkan halnya kabur dan hanya berkata tentang beberapa akibat inspirasi yang menyangkut hasilnya. Antara lain, secara tradisional, Allah dikatakan “author” (=pengarang) Kitab Suci, tetapi entahlah bagaimana kata itu mesti dipahami.” Selain itu, “Vatikan II menggarisbawahi bahwa inspirasi tidak mematikan aktivitas pribadi para penulis, sehingga betapa suci pun Alkitab, ia tetap manusiawi (bdk. DV, No. 13).” 14
Stefen Laks juga membahas satu masalah yang menarik tentang “ketidaksalahan” Bibel. Dia menulis, bahwa berabad-abad lamanya Gereja Katolik menggunakan jargon “sine ullo errore” (tanpa kekeliruan apa pun). Selama berabad-abad Gereja lebih sering berbicara tentang Kitab Suci yang tidak keliru, daripada tentang kebenarannya. Setelah keluarnya Konstitusi ‘Dei Verbum’ dalam Konsili Vatikan II, Gereja mulai lebih mementingkan kebenaran Kitab Suci, daripada ketidaksesatannya. Selanjutnya ditulis:
“Buku ini tidak dipandang lagi sebagai kumpulan kebenaran semata-mata melainkan lebih-lebih sebagai karya ajaib yang penuh dinamika. Kitab Suci bukan pertama-tama buku pengajaran belaka melainkan lebih-lebih buku kebenaran yang menyelamatkan. Kebenaran dalam arti demikian melekat pada teks-teks asli Kitab Suci saja (yang tentu saja tidak ada lagi!), sedangkan segala terjemahannya turut serta dalam nilai utama Kitab Suci itu sejauh dengan setia mengungkapkan apa yang diinspirasikan Allah dan diungkapkan dalam teksnya. Ketidakkeliruan melekat pada keseluruhan Kitab Suci, bukan pada penulis kitab tertentu ataupun pada kitab tertentu saja. Ketidakkeliruan dalam arti mutlak hanya melekat pada kebenaran penuh yaitu Yesus Kristus.” 15

Dengan kondisi teks Bibel seperti itu, maka, secara prinsip, teks al-Quran tidak mengalami problema sebagaimana problema yang dialami teks Bibel. Norman Daniel dalam bukunya, Islam and The West: The Making of an Image, menegaskan: “The Quran has no parallel outside Islam.” 16 Di kalangan Kristen, hanya kelompok fundamentalis saja yang masih mempercayai bahwa Bibel adalah ‘The Word of God/dei verbum’. 17
I.J. Satyabudi, alumnus Universitas Kristen Satya Wacana, menulis dalam bukunya, Kontroversi Nama Allah, bahwa penemuan arkeologi biblika sejak tahun 1890 M, sampai 1976 M, telah menghasilkan 5366 temuan naskah-naskah purba kitab Perjanjian Baru berbahasa Yunani yang berasal dari tahun 135 M sampai tahun 1700 M yang terdiri dari 3157 manuskrip yang bervariasi ukurannya; mulai dari yang dari secarik kecil seukuran kartu kredit dari Papirus tahun 135 M sampai dengan manuskrip berisi keseluruhan kitab Perjanjian Baru yang berasal dari Kodek Perkamen tahun 340 M; dan 2209 leksionari yang berisi perikop Perjanjian Baru yang digunakan sebagai bacaan liturgi di Gereja. Dari 5366 salinan naskah itu, jika diperbandingkan, beberapa sarjana Perjanjian Baru menyebutkan adanya 50.000 perbedaan kata-kata. Bahkan ada beberapa sarjana yang menyebutkan angka 200.000-300.000 perbedaan kata-kata. Jadi, simpul IJ Satyabudi, “Maka, dari ke-3 angka perbedaan kata-kata di atas mana pun yang kita pilih akan tetap menghasilkan sebuah kesimpulan, yaitu sebuah kenyataan bahwa perbedaan kata-kata yang ada dalam ke-5366 nskah-naskah tersebut berkisar antara ½ -- 2 kali lebih banyak jika dibandingkan dengan 138.162 kata yang ada dalam Kitab Perjanjian Baru itu sendiri.” 18

Pengaruhnya ke dalam Islam

Melihat kondisi Bibel semacam itu, sebagian cendekiawan Kristen kemudian berupaya mengajak kaum Muslim juga untuk juga mengkritisi teks al-Quran sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, semisal oleh Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris. Pada tahun 1927, ia menulis:
“The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).” 19

Setelah itu, berbondong-bondonglah orientalis yang melakukan kajian kritis terhadap teks al-Quran, sebagaimana sudah terjadi pada Bibel. Menurut mereka, bukankah al-Quran juga sebuah “teks” yang tidak berbeda dengan “teks Bibel”. Toby Lester dalam The Atlantic Monthly, Januari 1999, mengutip pendapat Gerd R. Joseph Puin, seorang orientalis pengkaji al-Quran, yang menyarankan perlunya ditekankan soal aspek kesejarahan al-Quran. “So many Muslims have this belief that everything between the two covers of the Koran is just God’s unaltered word,” (Dr. Puin) says. “They like to quote the textual work that shows that The Bible has a history and did not fall straight out of the sky, but until now the Koran has been out of this discussion. The only way to break through this wall is to prove that the Koran has a history too.”
Jadi, orang seperti Lester ini ingin agar kaum Muslim melepaskan keyakinannya, bahwa al-Quran adalah kata-kata Tuhan (kalam Allah) yang tidak berubah. Untuk menjebol tembok keyakinan umat Islam itu, menurut Puin, maka harus dibuktikan bahwa al-Quran juga memiliki aspek kesejarahan. Aspek historisitas al-Quran inilah yang harus ditekankan dalam pengkajian al-Quran, sebagaimana juga telah dilakukan orang-orang Kristen dan Yahudi di Barat terhadap Bibel.
Disamping merujuk kepada sederet orientalis, Lester juga menyatakan kegembiraannya bahwa di dunia Islam, sejumlah orang telah melakukan usaha “revisi” terhadap paham tentang teks al-Quran sebagai kalam Allah. Diantaranya, ia menyebut nama Nasr Hamid Abu Zaid, Arkoun, dan beberapa lainnya.
Michael Cook, dalam bukunya, The Koran: A Very Short Introduction, (2000:44), mengutip pendapat Nasr Hamid Abu Zayd – yang dia tulis sebagai “a Muslim secularist” – tentang al-Quran sebagai produk budaya: “If the text was a message sent to the Arabs of the seven century, then of necessity it was formulated in a manner which took for granted historically specific aspects of their language and culture. The Koran thus took shape in human setting. It was a ‘ cultural product’ – a phrase Abu Zayd used several times, and which was highlighted by the Court of Cassation when it determined him to be an unbeliever. 20
Mohammed Arkoun juga tercatat sebagai sarjana yang aktif mengajak kaum Muslim untuk mengkritisi al-Quran. Bahkan, ia secara terang-terangan menyayangkan, mengapa kaum Muslim tidak mau mengikuti jejak kaum Yahudi-Kristen. Kata Arkoun:
“Sayang sekali kritik-kritik filsafat tentang teks-teks suci – yang telah diaplikasikan kepada Bibel Ibrani dan Perjanjian Baru, sekalipun tanpa menghasilkan konsekuensi negatif untuk ide wahyu, terus ditolak oleh pendapat kesarjanaan Muslim.” 21

Sebagian kalangan Kristen, juga mengimbau dengan halus, agar kaum Muslim modern meninggalkan konsep lama mereka tentang al-Quran, bahwa teks al-Quran adalah Kalamullah, lafazh dan maknanya dari Allah SWT, dan sama sekali bebas dari unsur manusiawi, termasuk redaksi dari Nabi Muhammad saw. Michel J. Scanlon (Professor of systematic theology at the Washington Theological Union and president of the Catholic Theological Society of America), menyatakan, bahwa, karakter absolut al-Quran sebagai Kata-kata Tuhan adalah sikap tradisional kaum Muslim ortodoks (The absolute character of the Quran as the Word of God is a traditional tenet of Islamic orthodoxy). Ia mendukung gagasan, sebagaimana dalam Bibel, bahwa al-Quran adalah “reception of revelation”, sejenis inspirasi dari wahyu, sebagaimana dalam konsep Kristen. 22
Hans Kung, pakar teologi Kristen, juga mengusulkan agar kaum Muslimin mau mengakui elemen kemanusiaan yang ikut bermain pada al-Quran. Kenneth Cragg, seorang pemimpin Gereja Anglikan, mendesak kaum Muslimin untuk memikirkan ulang konsep wahyu tradisional Islam, sebagai konsesi kaum Muslimin dalam semangat pluralisme dialog antar agama saat ini. 23
Perbedaan “konsep teks” antara al-Quran dan Bibel ini perlu dicermati oleh para cendekiawan Muslim, sebab ini akan berdampak pada penggunaan metode penafsiran. Para pemikir modernis atau post-modernis, sebagaimana Arkoun, Abu Zayd, Amina Wadud, telah melakukan generalisasi konsep teks, ketika mengadopsi teori-teori hermeneutika -- yang biasa diterapkan untuk Bibel -- untuk penafsiran al-Quran. Padahal, ada karakter yang sangat berbeda antara konsep teks al-Quran dan Bibel, begitu juga dengan metodologi penafsirannya.
Sebagai contoh, dilakukannya pengembangan metodologi “tafsir kontekstual” yang keluar dari makna teks sama sekali, sehingga menghasilkan produk hukum yang sama sekali baru. Problem teks Bibel telah melahirkan banyak teori penafsiran yang bersifat kontekstual dan keluar dari makna teks secara literal. Secara serampangan, istilah “literalis” dan “kontekstualis” yang lahir dari tradisi Bibel ini kemudian juga diaplikasikan untuk kaum Muslim. Peradaban Islam sering disebut sebagai peradaban teks (hadharah al-nash), sehingga ada sebagian kalangan cendekiawan yang dengan mudahnya mengatakan, “Kita jangan mau dijajah oleh teks”.
Sikap seperti ini bisa berlaku pada ilmuwan Barat, yang memang tidak lagi mempunyai teks suci untuk dijadikan pegangan. Mereka menolak teks Bibel, dan menggunakan segala cara agar teks Bibel itu tidak mengikat kehidupan mereka. Itu terjadi dalam kasus perzinahan, homoseksual, dan juga berbagai makanan yang diharamkan dalam Bibel. Ini sudah berlaku sejak dulu. The Letter of Barnabas (sekitar 100 M), misalnya, menginterpretasikan undang-undang tentang makanan dalam Kitab Imamat (Leviticus), bukan sebagai larangan untuk memakan daging hewan tertentu, tetapi lebih merupakan sifat-sifat buruk yang secara imajinatif diasosiasikan dengan hewan-hewan itu. Jika dibaca dalam Bibel, Kitab Imamat 11:1-46, disebutkan daftar binatang yang haram dimakan, seperti unta, pelanduk, kelinci, babi, 24 burung rajawali, burung onta, burung camar, elang, burung pungguk, tikus, katak, landak, biawak, bengkarung, siput, dan bunglon. “Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram itu semuanya bagimu.” (ayat 8). Dalam Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2000, pasal 11 ini diletakkan di bawah tajuk “Binatang yang haram dan yang tidak haram.” Dalam ayat 35 disebutkan: “Kalau bangkai seekor dari binatang-binatang itu jatuh ke atas sesuatu benda, itu menjadi najis; pembakaran roti dan anglo haruslah diremukkan, karena semuanya itu najis dan haruslah najis juga bagimu.” 25
Bisa dibayangkan, jika konsep makanan haram dan najis, ini diterapkan secara literal, apa jadinya orang Barat yang hobi makan babi dan memakan binatang yang jelas-jelas diharamkan dalam Bibel. Dengan kondisi faktual teks Bibel semacam itu, jelas sekali penafsiran secara literal tidak memungkinkan, sehingga hanya kalangan Kristen fundamentalis yang sangat naif, yang menafsirkan Bibel secara literal. 26
Kondisi dan problem teks Bibel semacam itu tentu sangat berbeda dengan teks al-Quran. Tentang makanan haram, misalnya, jelas dikatakan dalam al-Quran, bahwa babi itu haram dimakan. Teks-nya jelas: “Diharamkan bagimu bangkai, darah, dan daging babi.” (QS Al-Maidah:3). Tidak ada masalah bagi umat Islam memahami ayat itu secara tekstual, sebab memang secara teks, babi itu diharamkan. Tidak ada perbedaan teks dalam soal ini. Karena al-Quran adalah berbahasa Arab, dan selain yang berbahasa Arab bukanlah al-Quran. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, bahwa babi adalah haram. Dan pemahaman itu dilakukan dengan melalui penafsiran secara tekstual. Kaum Muslimin selama ini juga paham, bahwa banyak ayat-ayat al-Quran yang tidak dapat dipahami secara tekstual begitu saja. Misalnya, ayat dalam surat al-Jumuah: “Fa idzaa qudhiyatishshalaatu fa intasharuu fi al-ardhi” (apabila selesai ditunaikan salat (Jumat), maka bertebaranlah kamu di muka bumi), oleh kaum Muslimin tidak dipahami bahwa setelah usai menunaikan salat Jumat maka mereka diwajibkan untuk bertebaran di muka bumi, dan tidak boleh tinggal berdiam diri di Masdjid. Meskipun redaksi ayat itu adalah perintah (fiil amar), tetapi tidak dipahami secara tekstual, bahwa bertebaran di muka bumi setelah salat Jumat adalah wajib.
Jadi, al-Quran memang memiliki konsep teks dan metode penafsiran sendiri, yang berbeda dengan Bibel dan kitab-kitab lainnya. Masalah tafsir insyaallah akan di bahas dalam perkuliahan di masa mendatang. Wallahu a’lam.

(Disampaikan dalam kuliah di Pasca Sarjana Program Studi Timur Tengah dan Islam—Universitas Indonesia, Salemba, 20 September 2006).


1 CM Pilkington, Judaism, (London: Hodder Headline Ltd., 2003), hal. 17-20.

2 CM Pilkington, Judaism, hal. 13.

3 Richard Elliot Friedman, Who Wrote the Bible, (New York: Perennial Library, 1989), hal. 15-17.

4 Th.C.Vriezen, Agama Israel Kuno, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 2001), hal. 7.

5 Paul J. Achtemeier (ed), Harper’s Bible Dictionary, (New York: Harper San Francisco, 1985), hal. 208; James Hastings (ed), A Dictionary of the Bible, (Edinburg: T&T Clark, Edinburg, 1910), Vol 1, hal. 572.Kisah perzinahan David dengan Batsheba dan jebakannya terhadap Uria diceritakan dalam 2 Samuel 11:2-5 dilanjutkan ayat 13-17.

6 Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament”, (Stutgard: United Bible Societies, 1975), hal. xiii-xxi. Juga, Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972), hal. 40.

7 Bruce M. Metzger, The Early Versions of the New Testaments, (Oxford: Clarendon Press, 1977), hal. 362-365.
8 Bruce M. Metzger, The Canon of the New Testament: Its Origin, Development, and Significance, (Oxford:Clarendon Press, 1987), hal. 273; juga lihat, Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament”, hal. xxii-xxiv.

9 Makna hadith ini telah banyak dibahas pakar hadith. Imam Bukhari menyatakan, bahwa itu adalah ungkapan pribadi Abu Sa’id al-Khudri, karena bertentangan dengan banyak hadith lainnya. Bisa juga dipahami, bahwa larangan Nabi tersebut bersifat khusus, dalam kondisi atau untuk orang tertentu, sebab pada saat yang sama Nabi juga memerintahkan pencatatan tentang berbagai hal, seperti surat-surat beliau kepada sejumlah kepala negara. Bisa jadi, yang dilarang adalah mencatat al-Quran dan hadith di tempat yang sama. Lihat: M.M. Azhami, Studies in Early Hadith Literature, (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2000), hal. 21-24. Kajian yang komprehensif tentang otentisitas Mushaf Utsmani dan perbadingannya dengan Bible, bisa dilihat buku The History of the Qur’anic Text, karya Musthafa A’zhami.
10 Young, Paul, Christianity, (London: Hodder Headline Ltd., 2003), hal. 57. Dr. C. Groenen OFM, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK, 1984), hal. 19.

11 Dalam doktrin Kristen dikatakan: “The whole Bible is given by inspiration of God.” Dalam I Korinthus 2:13, disebutkan, Paulus mengucapkan kata-kata yang diajarkan oleh Roh Kudus.” Lihat: Louis Berkhof, A Summary of Christian Doctrine, (London: The Banner of Truth Trust, 1978), hal. 16-17.

12 C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Baru, hal. 27.

13 Stefen Leks, Inspirasi dan Kanon Kitab Suci, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 128.
14 Ibid, hal. 128-129. Cetak tebal dari penulis. Ungkapan Groenen ini perlu digarisbawahi, sebab konsep “wahyu yang telah memanusia dan menyejarah” dari Kristen inilah yang tampak mempengaruhi pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd, sehingga juga mendasari konsep barunya tentang al-Quran yang dia katakan sebagai produk budaya. Dengan begitu, dia bisa menerapkan metode kajian historis kritis terhadap teks al-Quran.

15 Stefen Leks, Inspirasi dan Kanon Kitab Suc, hal. 94-95.
16 Norman Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, (Oxford: Oneworld Publications, 1997), hal. 53.

17 Hans Kung, "What Is True Religion?" dalam Leonard Swidler (ed), Toward a Universal Theology of Religion, (New York: Orbis Book, 1987), hal. 200-201.
18 I.J. Satyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta: Wacana Press, 2004), hal. 150-152.

19 Bulletin of the John Rylands Library (Manchester, 1927) XI: 77, seperti dikutip Dr. Syamsuddin Arif dalam artikelnya di Jurnal Al-Insan, edisi 1, Januari 2005, yang berjudul Al-Quran, Orientalisme, dan Luxenberg.

20 Pendapat Lester dan Cook dikutip dari buku The History of the Qur’anic Text, From Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testament, karya MusÏafa A’zhami (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), hal. 8-9.
21 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam, dikutip dari buku Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Quran, hal. 63.

22 Michel J. Scanlon, “Fidelity to Monotheism”, ins Ellis, Kail C. (ed), The Vatican, Islam, and the Middle East, Syracuse University Press, Syracuse, 1987, pp. 27-41.

23 Dikutip dari M.M. A’zhami, The History of The Quranic Text (Terj.), hal. 354-355.

24 Tentang binatang babi ini cukup menarik jika dicermati sejumlah versi teks Kitab Imamat 11:7-8. Dalam Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), tahun 1971 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.” Tetapi, dalam Alkitab versi LAI tahun 2004, kata babi sudah berubah menjadi babi hutan: “Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.” Dalam teks bahasa Inggris, versi The New Jerusalem Bible (1985), ayat itu ditulis: “you will regard the pig as unclean, because though it has a cloven hoof, divided into two parts, it is not a ruminant. You will not eat the meat of these or touch their dead bodies; you will regard them as unclean.” Dari ketiga teks itu bisa dilihat, bagaimana problem teks Bible sangat rumit dan pelik, karena tidak ada kitab standar dalam rujukan penerjemahan Bible. Dalam Kamus Indonesia-Inggris karya John M. Echols dan Hassan Shadily (Jakarta: Gramedia, 1994), kata babi diterjemahkan menjadi pig, hog, pork. Sedangkan kata ‘babi hutan’ diterjemahkan dengan ‘wild boar’. Dalam Good News Bible, terbitan United Bible Sicieties, 1976, ayat itu ditulis: “Do not eat pigs. They must be considered unclean; they have devided hoofs, but do not clew the cud. Do not eat these animals or even touch their dead bodies; they are unclean.”

25 Contoh-contoh problematika teks Bible telah banyak saya paparkan dalam buku saya Tinjauan Historis Konflik Yahudi-Kristen-Islam (Jakarta: GIP, 2004).

26 Vatikan juga mengritik keras cara penafsiran literal ala kaum fundamentalis Kristen. Dikatakan, “…fundamentalisme cenderung menganggap bahwa teks alkitabiah seolah-olah didektekan kata demi kata oleh Roh Kudus. Mereka tidak mampu mengakui bahwa Sabda Allah telah dirumuskan dalam bahasa dan ungkapan manusia yang terbentuk melalui berbagai periode. Dengan demikian, mereka juga tidak memperhatikan bentuk-bentuk sastra dan cara berpikir manusiawi yang ditemukan dalam teks alkitabiah, yang sebagian besar merupakan hasil dari suatu proses yang panjang selama periode waktu yang panjang dan yang memuat tanda situasi-situasi historis yang sangat beragam.” (Lihat, Penafsiran Alkitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan, hal. 92-93). Paus Benediktus XVI, melalui bukunya, Biblical Interpretation in Crisis: The Ratzinger Conference on Bible and Church (1989), malah secara tajam menyatakan, bahaya fundamentalisme dalam penafsiran Bible. Ia mengajak untuk menafsirkan Bible dengan bijak sesuai konteks sejarah proses penyusunan teks Bible. (Libertus Jehani, Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman Katolik, (Jakarta: Sinondang Media, 2005), hal. 32.

ISLAM FUNDAMENTALIS

ISLAM FUNDAMENTALIS
Studi Historis dan Doktrinal
Oleh: Khizanah Al-Masa’id, S.Pd.I., M.Si.
A. PENDAHULUAN
Penerapan istilah “fundamentalisme” dalam konteks muslim, akan segera memunculkan beberapa asosiasi, bagaimanapun kita berusaha mendefinisikannya, tampak sebagai sesuatu yang sangat elusive (sulit dipahami) sebagaimana dikenal selama ini, istilah tersebut berasal dari konteks budaya dan agama yang berbeda, yang pengertiannya lebih tepat dari dulu hingga sekarang adalah penegasan keyakinan pada kebenaran literer bible, menegakkan perlawanan terhadap ilmu pengetahuan sekuler, khususnya teori evolusi Darwin. Gerakan yang disebut fundamentalis dalam dunia muslim mempunyai latar belakang intelektual dan politik berbeda. Penggunaan istilah yang sama dalam konteks muslim belum tentu membantu pemahaman yang lebih baik.
Istilah fundamentalisme seperti umumnya digunakan sekarang ini, mempunyai kesan penghakiman sekalipun beberapa orang islam sendiri, tampaknya menunjukkan diri mereka dengan istilah tersebut, misalnya, al-usuliyyat al-islamiyya. Suatu istilah yang biasanya digunakan untuk menunjukkan celaan terhadap orang lain, berbeda dengan istilah “fanatik”, yang cenderung ditujukan pada orang-orang yang berfikir, berbicara, bertindak dan berpakaian berbeda dengan kebanyakan orang, sehingga akan lebih mudah mengatakan, apa mereka ini tidak lebih “fundamentalis” dari penunjukan yang pertama. Ada suatu isyarat bahwa kaum fundamentalis berlawanan dengan tatanan politik yang ada. Semua kelompok oposisi muslim lebih memungkinkan untuk dikatakan sebagai fundamentalis, meskipun doktrin mereka berbeda-beda. Sebaliknya, kelompok-kelompok yang dianggap sebagai fundamentalis, dengan berbagai alasan juga dikenai tuduhan sebagai kelompok subversi yang potensial, meskipun syarat yang sesungguhnya melampaui penggunaan konsep fundamentalisme itu sendiri.
Kekhawatiran akan bangkitnya “ekstremisme” dan “fundamentalisme” agama sempat membuat banyak orang khawatir akhir-akhir ini. Gejala yang menunjukkan perkembangan seperti ini memang cukup banyak. Munculnya sejumlah kelompok militan islam, tindakan pengrusakan, gereja (juga tempat ibadah yang lain), berkembangnya sejumlah media yang menyiarkan aspirasi islam militan, penggunaan istilah “jihad” sebagai alat pengesah serangan terhadap kelompok agama lain, dan semacamnya, adalah beberapa perkembangan yang menandai bangkitnya aspirasi keagamaan yang ekstrem tersebut. Sudah tentu jika tidak ada upaya-upaya untuk mencegah dominannya pandangan keagamaan yang militan itu, boleh jadi, dalam waktu yang panjang, pandangan-pandangan kelompok keagamaan yang militan ini bisa menjadi dominan. Hal ini jika benar terjadi, akan mempunyai akibat yang buruk buat usaha memantapkan demokratisasi di indonesia. Sebab, pandangan-pandangan keagamaan yang militan biasanya menimbulkan ketegangan diantara kelompok-kelompok agama yang ada, sebut saja antara islam dan kristen... pandangan-pandangan keagamaan yang terbuka, plural, dan humanis adalah salah satu nilai-nilai pokok yang mendasari suatu kehidupan yang demokratis.
Karena itu bagaimanapun juga kultus dan fundamentalisme hanyalah pelarian dalam keadaan tidak berdaya. Sebagai sesuatu yang hanya memberi hiburan ketenangan semu atau palliative, kultus dan fundamentalisme adalah sama berbahayanya dengan narkotika. Namun, narkotika menampilkan bahaya hanya melalui pribadi yang tidak memiliki kesadaran penuh (teler), baik secara perseorangan maupun kelompok, sehingga tidak akan menghasilkan sesuatu “gerakan” sosial dengan suatu bentuk kedisiplinan keanggotaan para pengguna narkotika, bukan keanggotaan sindikat para penjualnya. Adapun kultus dan fundamentalisme dengan sendirinya melahirkan sebuah gerakan dengan disiplin yang tinggi. Maka penyakit yang terakhir ini adalah jauh lebih berbahaya dari pada yang pertama.... sebagaimana mereka memandang narkotika dan alkoholisme sebagai ancaman kepada kelangsungan daya tahan bangsa, mereka juga berkeyakinan bahwa kultus dan fundamentalisme adalah ancaman-ancaman yang tidak kurang gawat.
B. ISLAM FUNDAMENTALISME
Fundamentalisme adalah istilah relatif baru dalam kamus peristilahan islam. Istilah “fundamentalisme dengan terjadinya Revolusi islam Iran pada 1979, yang memunculkan kekuatan Muslim Syi’ah radikal dan fanatik yang siap mati melawan the great Satan, Amerika serikat. Meski istilah fundamentalisme islam baru populer setelah peristiwa historis ini, namun dengan mempertimbangkan beberapa prinsip dasar dan karakteristik, seperti akan kita lihat nanti, maka fundamentalisme islam telah muncul jauh sebelumnya.
Setelah revolusi islam iran, istilah fundamentalisme islam digunakan untuk mengeneralisasi berbagai gerakan islam yang muncul dalam gelombang yang sering disebut sebagai “kebangkitan islam”. Memang dalam dasawarsa terakhir terlihat gejala “kebangkitan islam”, yang muncul dalam berbagai bentuk intensifikasi penghayatan dan pengalaman islam, yang diikuti dengan pencarian dan penegasan kembali nilai-nilai islam dalam berbagai aspek kehidupan. Tetapi menyebut semua gejala intensifikasi itu sebagai “fundamentalisme islam” jelas merupakan simplifikasi yang distortif.[1]
Fundamentalis islam bisa dikatakan merupakan bentuk ekstrem dari gejala “revivalisme”. Jika revivalisme dalam bentuk intensifikasi keislaman lebih berorientasi “ke dalam” dan karenanya sering bersifat individual- maka pada fundamentalisme, intensifikasi itu juga diarahkan keluar. Tegasnya, intensifikasi bisa berupa sekedar peningkatan attachement pribadi terhadap islam, oleh sebab itu sering mengandung dimensi esoteris, tetapi fundamentalisme menjelma dalam komitmen yang tinggi tidak hanya untuk mentransformasi kehidupan individual, tetapi sekaligus kehidupan komunal dan sosial. Dan karena itu, fundamentalisme islam juga sering bersifat eksoteris, yang sangat menekankan batas-batas kebolehan dan keharaman berdasarkan fiqih.
Mempertimbangkan sedikit kualifikasi, jelas bahwa membuat batas-batas apa yang disebut “fundamentalisme” islam tidaklah terlalu mudah. Banyak ahli dan kalangan muslim menolak penggunaan istilah “fundamentalisme” untuk menyebut gejala intensifikasi islam. Hujjahnya, secara historis penggunaan istilah ini berkaitan dengan kebangkitan fundamentalisme dalam gereja protestan, khususnya di Amerika serikat.[2] Sedangkan bagi Garaudy, fundamentalisme merupakan fenomena yang tidak terbatas pada agama; terdapat pula fundamentalisme dalam bidang politik, sosial dan budaya. Karena baginya, fundamentalisme adalah; suatu pandangan yang ditegakkan atas keyakinan, baik bersifat agama, politik ataupun budaya, yang dianut pendiri yang menanamkan ajaran-ajarannya dimasa lalu dan sejarah.[3]
Kalangan muslim tertentu keberatan dengan istilah “fundamentalisme”, terutama atas dasar konteks historis istilah ini dengan fundamentalisme kristen. Karena itu, sebagian mereka menggunakan istilah ushuliyyun untuk menyebut “orang-orang fundamentalis”, yakni mereka yang berpegang kepada fundamen-fundamen pokok islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits. Dalam kaitan ini pula digunakan istilah al-ushuliyyah al-islamiyyah (fundamentalis islam) yang mengandung pengertian; kembali kepada fundamen-fundamen keimanan; penegakakan kekuasaan politik ummah; dan pengukuhan dasar-dasar otoritas yang absah. Formulasi ini, seperti terlihat, menekankan dimensi politik gerakan islam, ketimbang aspek keagamaan.[4]
Prinsip pertama fundamentalisme adalah “opositionalism” (paham perlawanan). Fundamentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk perlawanan- yang bukannya tak sering bersifat radikal- terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama, apakah dalam bentuk modernitas atau moderisme, sekularisasi, dan tata nilai Barat pada umumnya. Acuan dan tolok ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tetu saja adalah kitab suci, yang dalam kasus fundamentalisme islam adalah al-Qur’an, dan pada batas tertentu al-Hadits.
Prinsip kedua adalah penolakan terhadap hermeneutika. Dengan kata lain, kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interprestasinya. Teks al-Qur’an harus dipahami secara literal- sebagaimana adanya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interprestasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian tertentu dari teks kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam “kompromi” dan menginterprestasikan ayat-ayat tersebut.
Prinsip ketiga adalah penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalisme, pluralisme merupakan hasil pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selaras dengan pandangan kaum fundamentalis merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, yang terutama muncul tidak hanya dari intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama.
Prinsip keempat adalah penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai “as it should be” bukan “as it is”. Dalam kerangka ini, adalah masyarakat yang harus menyesuaikan perkembangannya- kalau perlu secara kekerasan- dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti perkembangan masyarakat. karena itulah, kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis; dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk masyarakat “ideal”- bagi kaum fundamentalis islam seperti pada zaman kaum salaf yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna.
Diera globalisasi, image yang dibentuk oleh media massa jauh lebih berpengaruh ketimbang realitasnya. Masyarakat tidak mampu memahami fakta yang sebenarnya. Kampanye negatif oleh media massa Barat terhadap “islam fundamentalis” berlangsung dalam kurun waktu yang panjang. Sebab, kelompok islam jenis inilah yang dianggap sebagai ancaman Barat. Daniel pipes menyebut bahwa “fundamentalisme islam” seringkali dianggap sebagai ancaman terbesar bagi stabilitas regional Timur tengah dan kepentingan-kepentingan Barat di dunia islam yang lebih luas.[5]
Mungkin karena pertimbangan taktis dan strategis untuk menghindari benturan dengan “adikuasa” Barat dan sorotan negatif dari publik internasional yang sudah terlanjur memandang negatif terhadap “cap” fundamentalis- maka banyak kaum muslim yang enggan disebut sebagai kaum “fundamentalis”. Bahkan, mungkin untuk mengambil hati Barat, maka ada juga yang ikut-ikutan mengutuk dan menyerang kaum fundamentalis. Namun, bukan tidak mungkin ada yang memiliki keimanan “fundamentalisme” sebagai penghalang besar dalam mencapai kemajuan sebagaimana dicapai oleh Barat.
Kelompok-kelompok “antifundamentalisme” itu kemudian lebih suka “menafsirkan” ajaran-ajaran dan hukum-hukum islam ke dalam bentuk yang lebih bersahabat dengan Barat. Digunakan berbagai istilah yang indah untuk mengambarkan sosok dan aktivitas mereka. Misalnya, sebutan “modernis”, “pembaharu”, “reformis”, “liberal”, “progresif”, dan “moderat”. Sementara kaum fundamentalis mereka beri sebutan-sebutan yang berkonotasi negatif. Misalnya, ”kaku”, ”kolot”, “garis keras”, “ekstrem”, antiperubahan, atau anti pembaharuan.
Di era globalisasi yang masih didominasi oleh media Barat tentu saja sulit bagi kaum “fundamentalis” untuk membangun citranya dengan baik. Sebaliknya, kaum “modernis” atau kaum “liberal” yang “lebih bersahabat” dengan Barat, sekurangnya “tidak anti- Barat”, lebih mendapatkan kesempatan untuk berkembang dan mensosialisasikan gagasan-gagasan dan pemikirannya kepada masyarakat. Selain karena dukungan Barat, peluang yang pada masyarakat. Selain karena dukungan Barat, peluang yang lebih besar bagi kaum “modernis” itu juga didukung oleh pemerintahan di negeri-negeri muslim yang kebanyakan masih tergantung pada Barat dalam berbagai aspek (politik, militer, maupun ekonomi).
Dalam wacana publik yang didominasi media massa Barat dan sekuler, istilah “modernisme” dan fundamentalisme” sudah menjadi tidak netral lagi. Kantor-kantor berita Barat maupun banyak media massa di negeri muslim, sudah terbiasa menggunakan istilah “islam modernis”, islam moderat”, dan sebagainya, dalam arti yang positif. Modernisme dianggap merupakan usaha untuk mengadaptasikan islam ke dalam nilai-nilai modern dan up to date. Sebaliknya, istilah fundamentalisme digunakan untuk menyebut gerakan-gerakan islam “berhaluan keras”seperti di Libya, al-jazair, iran, dan lebanon. Akibat penggunaan istilah itu secara sederhana oleh media massa, maka pengertian “kaum fundamentalis muslim” kini cenderung diartikan sebagai kelompok islam yang berjuang mencapai tujuannya dengan cara-cara kekerasan. Bagi media massa Barat,” fundamentalisme islam” identik dengan “islam yang kejam”, “islam yang terbelakang”, dan sejenisnya.
Apalagi istilah “fundamentalis”itu sendiri tidak ditemukan dalam khazanah islam. Istilah “modernisme” maupun “fundamentalisme” dimunculkan oleh kaum akademis Barat dalam konteks sejarah keagamaan dalam masyarakat mereka sendiri. “modernisme” pada awalnya diartikan sebagai aliran keagamaan yang melakukan penafsiran terhadap doktrin agama kristen untuk menyesuaikannya dengan perkembangan pemikiran modern. Sedangkan, “fundamentalisme” diartikan sebagai reaksi terhadap modernisme. “fundamentalisme” agama kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu secara rigid dan literalis.[6]
Kamus Larous kecil mendefinisikan “fundamentalisme” sebagai sikap mereka yang menolak menyesuaikan kepercayaan dengan kondisi-kondisi yang baru. Dalam kamus Larous besar, “fundamentalisme” adalah sikap stagnan dan beku yang menolak seluruh perkembangan. Ilmuwan prancis, Roger Geraudy, meyatakan bahwa “fundamentalisme” adalah antitesa bagi “sekularisme”. Geraudy termasuk ilmuwan yang terjebak dalam melakukan generalisasi konsep “fundamentalisme” kristen untuk menganalisis fenomena sejenis di masyarakat muslim.[7]
C. FUNDAMENTALISME ISLAM PRA-MODERN
Orang seperti Geraudy keliru dengan menisbahkan kemunculan fundamentalisme islam semata-mata dengan dunia Barat Modern. Seperti dikemukakannya, fundamentalisme-fundamentalisme Barat adalah sebab pertama, sedangkan fundamentalisme-fundamentalisme lainnya (termasuk fundamentalisme islam) adalah reaksi terhadap fundamentalisme Barat tersebut.[8]tetapi menuding Barat sebagai satu-satunya pertumbuhan gerakan-gerakan islam termasuk fundamentalisme bukan hanya merupakan pencerminan sikap apologetik, tetapi juga mensimplifikasikan gejala perkembangan sosio-historis kaum muslimin. Sebagaimana akan kita lihat, prinsip dan karakteristik yang membuat suatu gerakan tertentu dapat disebut “fundamentalis”, juga terdapat didalam kalangan muslim sepanjang sejarah.
Fundamentalisme islam dengan demikian, tidaklah sepenuhnya baru. Sebelum munculnya fundamentalisme kontemporer terdapat gerakan yang mungkin dapat disebut sebagai prititype gerakan-gerakan fundamentalisme yang muncul dalam masa-masa lebih belakangan ini. Maka, untuk menghindari kekeliruan ini, ada baiknya kita membagi gerakan fundamentalisme menjadi dua tipologi: pra-modern, dan kontemporer yang dapat pula disebut neo-fundamentalisme. Fundamentalisme pra-modern muncul disebabkan situasi dan kondisi tertentu dikalangan umat muslim sendiri. Karena itu, ia lebih genuine dan inward oriented, berorientasi ke dalam diri kaum muslim sendiri. Pada pihak lain, fundamentalisme kontemporer bangkit sebagai reaksi terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial, budaya, politik dan ekonomi Barat, baik sebagai ekonomi kontak langsung dengan Barat maupun melalui pemikir muslim, tegasnya kelompok modernis, sekularis. Dan westernis, atau rejim pemerintahan muslim yang menurut kaum fundamentalis merupakan perpanjangan mulut dan tangan Barat.
Gerakan fundamentalis islam pra-modern pertama, yang selanjutnya menjadi prototype banyak gerakan fundamentalis islam muncul di semenanjung Arabia, di bawah pimpinan Muhammad ibn Abd al-wahhab (1703-92). Banyak dipengaruhi gagasan-gagasan pembaharuan Ibn Taymiyah dan memperoleh pendidikan di kalangan ulama reformis di haramayn, Ibn Abd al-Wahhab menggoyang pendulum reformisme islam ke titik ekstrem: fundamentalisme islam radikal. Bekerjasama dengan kepala kabilah lokal di Nejd, Ibn Abd al-Wahhab melancarkan jihad terhadap kaum muslim yang dipandangnya telah menyimpang dari ajaran islam yang “murni”; yang menurutnya banyak mempraktekkan bidáh, khurafat, tahayul dan semacamnya. Fundamentalisme wahhabi tidak hanya berupa purifikasi tawhid, tetapi juga penumpahan darah dan penjarahan mekkah dan madinah, yang diikuti pemusnahan monumen-monemen historis yang mereka pandang sebagai praktek-praktek menyimpang.[9]
Bergeser keujung lain di Dunia Muslim, gerakan fundamentalis yang mirip dengan wahhabi muncul dalam gerakan wahhabi dalam lingkungan ulama reformis dan kosmopolitan diharamanyn, gerakan padri bermula dari pembaharuan moderat yang dilancarkan Tuanku Nan Tuo dari murid-muridnya dari surau Koto Tuo, Agam, sejak perempatan terakhir abad ke-18. oposisi yang keras dari para pembaharu moderat dan kaum adat merupakan faktor penting yang mendorong terjadinya radikalisasi gerakan pembaharuan ini oleh murid-murid Tuanku Nan Tuo, khususnya Tuanku Nan Renceh. Kembalinya pada tahun 1803 tiga haji- haji miskin, haji sumanik dan haji piobang setelah melaksanakan haji dimekkah pada waktu kaum wahhabi berjaya ditanah suci menjadi trigger (pemicu) gerakan jihad kaum padri melawan kaum muslim lain yang menolak mengikuti ajaran keras mereka. Diantara pokok-pokok pandangan kaum padri yang kelihatan mirip dengan ajaran wahhabi adalah oposisi terhadap bidáh dan khurafat, dan pelarangan penggunaan tembakau dan pakaian sutra.[10]
Dalam gerakan-gerakan fundamentalis selanjutnya, warna anti barat muncul secara signifikan, walau tema “kembali kepada islam yang murni”juga tidak ditinggalkan. Salah satu contoh adalah gerakan Fareídhi di bengal. Gerakan ini dikembangkan Haji syariát Allah (1781-1840), yang pada intinya menekankan penerapan syariáh dan ajaran-ajaran al-Qurán lainnya secara ketat. Dimotivasi pula oleh kenyataan terjadinya diskripsi kehidupan masyarakat muslim akibat intruisi kekuatan politik dan sistem ekonomi inggris, syariát Allah menggalang masa petani muslim untuk melakukan jihad melawan kaum hindu dan inggris.[11]
Gerakan fundamentalis islam di akhiri masa transisi ini, yang perlu disinggung adalah gerakan jihad yang diorganisasi Sayyid Muhammad Abd Allah Hasan (1864-1920) disudan dan somalia. Hasan dengan keras mengecam orang muslimin yang “mempraktekkan bidáh-bidáh pagan”, semacam meminta wasilah dikuburan “awliya”. Antara tahun 1899 sampai 1920 ia memimpin jihad melawan musuh internal (muslim lainnya) dan musuh eksternal (inggris, italia dan prancis). Gerakan ini dalam perkembangan lebih lanjut mengklaim kemunculan imam Mahdi dalam diri Muhammad Ahmad Ibn Abd Allah (1844-85). Nama yang terakhir ini memaklumkan kemahdiannya pada 1881. ia menuntut kesetiaan dari para pengikutnya melalui bayáh; hijrah dari wilayah muslim lain; dan jihad untuk menyucikan islam dari pengaruh keberhalaan dan bidáh.[12]
D. PARAMETER (doktrin) TEOLOGIS FUNDAMENTALISME MUSLIM
Mungkinkah mengidentifikasi teologi fundamentalis secara khusus? Para analis yang banyak berpengalaman dalam bidang sejarah pemikiran islam memilih istilah fundamentalisme untuk menunjukkan gerakan-gerakan puritan yang menghidupkan tradisi intelektual Ibn Taimiyyah Wahabi. Menurut dugaan, sufisme mengabungkan keburukan dengan sikap dasar gerakan-gerakan tersebut, namun dalam prakteknya, kita melihat seluruh bentuk penggabungan tersebut, pada umumnya diindonesia, diasumsikan bahwa kaum fundamentalis adalah reformis dalam bidang teologi dan menolak terhadap madzhab. Gerakan islam indonesia yang paling puritan, persis, dengan alasan tertentu, kadang-kadang disebut fundamentalis, meskipun tidak terlibat dalam persoalan politik. Barangkali benar, bahwa jumlah muslim radikal di indonesia lebih banyak berasal dari latar belakang reformis dari pada tradisionalis. Sebaliknya, di malaysia ada beberapa gerakan berpengaruh yang berusaha menciptakan masyarakat islami, dan seluruh gerakan radikal tersebut mengikat secara ketat pada praktek peribadatan tradisionalis serta pengaruh sufi.
Kaum fundamentalis ingin menempatkan syariáh, hukum Tuhan, di atas hukum manusia. Usaha keras untuk menerapkan syariáh, barangkali merupakan kriteria yang paling tepat untuk membedakan fundamentalisme, dalam pengertian yang sederhana. Sebab, kriteria demikian tidak menjelaskan karakteristik sosial gerakan, melainkan lebih pada aspek doktrinalnya. Batasan ini tetap meliputi kalangan muslim di manapun juga. Jelasnya, karena ada banyak muslim yang berani menegaskan bahwa mereka tidak menginginkan syariáh, diterapkan.
Dalam masalah ini, barangkali tepat sekali, memperhatikan salah satu elemen penting pada hampir keseluruhan keanekaragaman fundamentalisme muslim yang tampaknya tidak sama dengan agama-agama besar lainnya; suatu hubungan ambivalen terhadap barat, imperialisme, missionarisme kristen, orientalisme dan tidak ketinggalan juga terhadap zionisme. Sejarah perjumpaan islam dengan Barat merupakan sejarah yang unik, dan secara emosional diliputi perasaan saling curiga, pengikut hindu dan Budha juga dijajah oleh kolonialis Barat, akan tetapi tidak pernah melibatkan ancaman terhadap identitas yang dirasakan bersama.
Satu alasan ketegangan antara islam dan kristen adalah karena keduanya mempunyai banyak kesamaan. Mereka saling berbagi sejarah suci mereka (nabi-nabi bangsa semit yang lebih awal), begitu pula dengan beberapa konsep keagamaan, dan karena itu pertentangan teologis keduanya melebihi ketegangan antara kristen dengan agama-agama Timur. Yang lebih penting, mereka adalah tetangga yang saling berperang selama lebih dari seribu tahun (perang salib). Dalam peperangan tersebut, wilayah strategis Eropa, spanyol dikuasai muslim, dan tentara-tentara muslim hanya mengalami kegagalan di sebagian besar wilayah Eropa bagian selatan. Akhirnya penguasa muslim ottoman berhasil menguasai sebagian besar Eropa bagian tenggara dan untuk waktu yang lama menjadi ancaman paling besar kerajaan-kerajaan kristen Barat. Sebaliknya bagi orang-orang kristen, perang salib dengan operasi militer adalah untuk merebut Tanah Suci, suatu daerah yang disakralkan oleh semua agama bangsa semit. Jauh sebelum terbentuk negara zionis, satu konfrontasi yang paling besar antara islam dan kristen penyangkut status Yerusalem.
Tidak hanya ideologi-ideologi kanan masyarakat Eropa yang berpengaruh secara langsung terhadap pemikiran fundamentalis muslim. Beberapa konsep politik untuk melawan pemerintah otoriter, diadopsi kaum fundamentalis berasal dari pemikiran pencerahan Eropa, sekalipun mungkin ditemukan istilah-istilah Arab di dalamnya dan mengklaim sebagai teladan yang islami. Slogan-slogan tentang tuntutan keadilan dan persamaan dalam semua instituisi seperti parlemen dan konstitusi, mungkin didasarkan pada rekontruksi pemikiran islam; tetapi inspirasi pokoknya berasal dari pemikiran liberal masyarakat Eropa atau sayap-kiri. Ide-ide ini secara insidental adalah bagian utama program modernisasi masyarakat Eropa. Pengadopsian oleh sebagian besar gerakan fundamentalis islam dalam bentuk sama atau yang lain, menunjukkan bahwa perlawanan mereka sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari gerakan-gerakan perlawanan reaksioner terhadap modernisasi.
Apakah fundamentalisme semata-mata fenomena keagamaan atau fenomena sosial dan politik? Analisis sosiologi tertentu akan cenderung pada aspek yang kedua, meskipun tidak ada analisis yang canggih hasil mengabaikan yang pertama (fenomena Agama).
Salah satu cabang ilmu sosial yang bisa memberikan wawasan tentang fundamentalisme sebagai fenomena agama dan sebagai fenomena politik adalah sosiologi sektarianisme. Sekarang ini, fundamentalisme dan sektarianisme tidak bisa diidentifikasi secara pasti, namun sebagian besar gerakan fundamentalis menyerupai, dalam hal-hal yang penting, sekte-sekte protestan yang muncul di eropa ketika menentang kekuasaan gereja katolik. Bryan Wilson, yang telah mencurahkan hidupnya untuk mempelajari sekte-sekte, dari dulu hingga sekarang, melukiskan beberapa karakteristik sekte-sekte yang paling tipikal: 1. eklusivitas tidak memberikan toleransi pada kesetiaan ganda, secara simultan seseorang tidak boleh mentaati ajaran-ajaran yang lain dari pada ajaran-ajaran sektenya sendiri; 2. klaim monopoli atas kebenaran agama; 3. sikap anti kelas orang-orang suci penolakan terhadap kelas orang-orang suci; diyakini bahwa seluruh manusia mempunyai akses yang sama atas kebenaran agama; 4. tidak ada pembagian kerja agama dalam sekte; 5. sebagai lembaga sukarelawan(keanggotaan merupakan pilihan perbuatan); 6. kontrol sosial yang kuat dalam sekte; 7. tuntutan totalitas kesetiaan; 8. sebagai kelompok protes untuk melawan gereja, ajaran-ajarannya dan para orang-orang yang disucikan.
Delapan karakteristik tersebut paling menonjol pada periode pra-modern, ketika masyarakat Eropa secara keseluruhan didominasi oleh gereja yang memiliki kekuasaan penuh, bersekutu kuat dengan negara, dan kependetaan merupakan bagian dari kelompok yang berkuasa. Sekarang ini, mungkin karakteristik tersebut merupakan deskripsi yang lebih akurat tentang gerakan muslim fundamentalis dari pada sekte-sekte kristen.
Baik sekte-sekte kristiani maupun gerakan-gerakan fundamentalis islam, mungkin mempunyai fungsi yang penting ketika melakukan koreksi terhadap kemapanan dan rutinitas agama, ibarat sengatan lebah terhadap darah ummat yang sedang mengalami kelesuhan, tuntutan secara langsung terhadap kesadaran religius, pembaruan cita rasa dorongan nurani agama yang orisinil. Mungkin tidak benar menganggap mereka sebagai gejala krisis yang mendalam, mereka lebih seperti suatu tanda masyarakat yang sehat. Menurut pendapat saya, adalah tepat kurangnya respon dari sebagian besar masyarakat. Akan menimbulkan rasa sakit yang mendalam. Sudah barang tentu, apresisi positif terhadap kritik kelompok fundamentalis, secara tidak langsung menunjukkan alternatif yang diperlukan. Analisis tentang dunia dalam sebagian tulisan-tulisan fundamentalis, meskipun tidak selalu tanpa wawasan yang simultan, adalah ketidak cukupan yang menyakitkan dan kemudian dari tulisan-tulisan tersebut diajukan solusi-solusi.
E. PENUTUP
Fundamentalisme secara umum tumbuh berkembang dan identik sebagai bagian dari fenomena global. Tak jarang, fundamentalisme juga disebut-sebut sebagai kelompok yang menggunakan kekerasan dalam mewujudkan cita-citannya.
Setelah peristiwa Black Tuesday 11 september 2001 dan pentagon, kemudian tanah air kita yang tercinta ini pun tak ketinggalan menjadi korban serangkaian tragedi kemanusiaan yang memilukan, seperti tragedy Legian Bali, JW Marriot, terakhir didepan gedung Dubes Australia, serta berbagai aksi bom yang lainnya, yang akhirnya ditengarai dilakukan oleh kelompok fundamentalis islam. Kaum fundamentalis islam digambarkan dan dicitrakan oleh Barat dengan sosok ciri tertentu yang bersifat fisik yang senantiasa menyerukan perlawanan. Menurut pandangan umum, kaum fundamentalis lahir disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang leteral tekstual, gagap terhadap modernitas, yang berupaya kembali pada ajaran orisinil guna mempertahankan kebenaran absolut.
Tapi menempatkan fundamentalisme agama sebagai satu-satunya persoalan besar, sekaligus musuh yang dihadapi ummat manusia saat ini adalah pandangan yang reduktif. Selain fundamentalisme agama, ada juga fundamentalisme yang jauh lebih berbahaya dan bahkan lebih mengerikan, yakni fundamentalisme Amerika. Fundamentalisme Amerika adalah wajah lain dari imperialisme dan hegemoni kekuasaan negara paman sam. Fundamentalisme Amerika adalah perpaduan dari kepentingan ekonomi, politik, militer dan juga agama (kristen dan yahudi). Fundamentalisme imperial bertujuan untuk mendisiplinkan dunia, mengukuhkan AS sebagai satu-satunya negara super Power, dan polisi dunia tanpa tanding. Demi menjaga kelangsungan kekuasaan imperiali, AS menggunakan kreasi prioritas ekonomi dan strategi control di mana-mana.
Karena wacana fundamentalisme terutama dalam masyarakat muslim- begitu bias dan debatable, ada baiknya para analis tidak terjebak dalam bias opini yang sudah berkembang jauh sebelumnya di AS, tanpa mau mendalami persoalannya secara komprehensif. Jangan sampai “pena” yang begitu tajam digunakan untuk melakukan kezaliman terhadap sesama muslim. Ingat, “pena ulama” bisa lebih tajam dari “pedang”. Maka kekerasan melalui pena justru bisa lebih jahat dari sekedar kekerasan melalui “pedang”.












DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi Dr. Fundamentalisme Kristen: Fenomena Kebangkitan Agama di AS, kompas 6 maret 1987.
_______. The Surau and The Early Reform Movements in Minangkabau. Mizan, 3, II (1990).
_______. Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
Bruce, Lawrence. ”From Islamic Revivalism to Islamic Fundamentalism” Currents in Modern Tthought. Februari 1991.
Garaudy R, Islam Fundamentalis Fundamentalis lainnya. Bandung: 1993.
Husaini, Adian. M.A. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Imarah, Muhammad. Fundamentalisme dalam Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.
Martin. Muslim Brotherboods, 177-201; J.O. vol, ”the Sudanese Mahdi: Flontier a fundamentalist”, Ijmes, 10 (1979).
Muinuddin, Ahmad Khan. History of the Faraídi Movement in Bengal 1818-1906. Karachi: 1965.
Mukti, Ali. Dkk. Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998.
Nasr, Seyyed Hossen. Traditional Islam in the Modern World, London: 1987.
Nuryanto. “Wajah Islam di Dunia Barat”. Majalah Himmah. Edisi XI. Ponorogo: Darussalam Press, 1425.
Rahman Fazlur. Gelombang perubahan dalam Islam, Studi tentang Fundamentalisme Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
[1]Lihat, Bruce Lawrence, ”From Islamic Revivalism to Islamic Fundamentalism” currents in modern thought, Februari 1991.
[2]Lihat Azyumardi Azra, ” Fundamentalisme Kristen; Fenomena Kebangkitan Agama di AS”, Kompas 6 maret 1987.
[3]Pandangan Garuardy tentang ”Fundamentalisme” pada umumnya bersifat apologenetik, lihat R. Garaudy, Islam Fundamentalis Fundamentalis lainnya, (Bandung: 1993). hlm. 1.
[4]Lihat Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in The Modern World, (London: 1987). hlm. 304.
[5]Artikel Daniel Pipes berjudul Fundamentalist Muslims dimuat di jurnal Foreign Affairs, Musim panas 1986- seperti dikutip oleh Esposito dalam bukunya The Islamic Threat Myth or Reality, 1992, hlm. 4.
[6]Lihat Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999). hlm. 5.
[7]Muhammad Imarah. Fundamentalisme dalam Perspektif Barat dan Islam. (Jakarta: Gema Insani Press, 1999). hlm. 25-26.
[8]Garaudy, Islam Fundamentalis,
[9]Tentang akar-akar intelektualisme dan radikalisme Ibn Abd al-Wahhab, lihat Azyumardi Azra, ”The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: networks of middle eastern and Malay-Indonesian Ulama in the seventeenth centuries” (Ph.D diss, Columbia University: 1992). hlm. 283-7.
[10]Lihat Azumardi Azra, ”The Surau and The Early Reform Movements in Minangkabau”. Mizan, 3, II (1990).
[11]Tentang syariát Allah dan faraídi, lihat, Muin-ud-din Ahmad Khan, History of the faraídi movement in Bengal 1818-1906, (Karachi: 1965).
[12]Martin. Muslim Brotherboods, 177-201; J.O. voll, ”The Sudanese Mahdi: Flontier a Fundamentalist”, Ijmes , 10 (1979), hlm. 145-66.

PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL DI INDONESIA:

PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL DI INDONESIA:
(Studi Kasus Jaringan Islam Liberal)
Oleh: M. Tajuddin Al-Afghani, S.H.I., M.Si.

A. PENDAHULUAN
Sejak jatuhnya rezim Orde Baru, Indonesia memasuki masa baru masa transisi masa reformasi yang ternyata tidak secara otomatis mengantarkan bangas Indonesia dari zaman otoriter ke rezim demokratis. Hal ini dapat dimaklumi karena dalam setiap transisi, terjadi penataan ulang baik perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software)[1]. Penataan ulang perangkat keras mencakup pergantian pelaku, tumbuhnya institusi atau lembaga baru, perubahan dan pergantian aturan main serta perubahan dan pergantian mekanisme kerja politik, ekonomi dan sosial. Adapun penataan ulang perangkat lunak mencakup penataan cara berpikir, pola perilaku, tabiat dan kebudayaan dalam masyarakat (baik elit maupun massa). Selain penataan ulang, ciri lain masa transisi adalah kebebasan dan keterbukaan publik serta ketidak menentuan.
Dalam suasana transisi dengan ketiga cirinya itu, kebangkitan gerakan Islam menemui momentumnya. Gerakan Islam yang bangkit pasca jatuhnya Orba ditandai dua tipe, yaitu struktural dan kultural. Indikator tipe pertama adalah maraknya pendirian partai-partai Islam, antara lain PBB (Partai Bulan Bintang), PK (Partai Keadilan), PKU (Partai Kebangkitan Umat), PNU (Partai Nahdlatul Ulama), PP (Partai Persatuan), PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), PSII 1905, PUI (Partai Umat Islam) dan Partai Masyumi Baru. Indikator tipe kedua adalah menjamurnya sejumlah gerakan atau organisasi massa (ormas) Islam, seperti FPI (Front Pembela Islam), FKASW (Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah) yang kemudian populer dengan sebutan Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia, HAMMAS, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan JIL (Jaringan Islam Liberal). Ormas-ormas Islam ini, kecuali yang terakhir, dikategorikan sebagai ormas Islam dengan tiga karakter khasnya, yaitu: formalistik, militan dan radikal[2].
Mengingat kukuhnya gerakan Islam moderat, Islam kultural dan Islam inklusif di masa Orde Baru sejak 1970-an, fenomena kebangkitan gerakan Islam pasca-Orde Baru dengan karakter politik dan radikalnya itu tampak terjadi begitu tiba-tiba dan tidak diduga sebelumnya. Di tengah keterkejutan ini, sekelompok generasi muda yang dibesarkan oleh suasan Islam moderat, Islam kultural dan Islam inklusif era Orde Baru mencoba mengimbangi kebangkitan gerakan Islam politik dan radikal melalui pendirian JIL (Jaringan Islam Liberal). Dalam perjalanannya, JIL ternyata tidak kalah fenomenal. Walaupun dalam website mereka dikibarkan bendera “toleransi, emansipasi, demokrasi”dan dikumandangkan motto “bersama Anda, menuju Islam yang Ramah, Toleran dan Membebaskan”, namun JIL ternyata dinilai kontroversial, pandangan dan pemikirannya menuai badai kritik, bahkan sekumpulan ulama se-Jawa mengkategorikan salah satu tulisan tokohnya yang dimuat Kompas, 18 November 2002, sebagai tindakan yang dapat diancam hukuman mati.
Pertengahan tahun 2001, nama “Islam Liberal” mulai dikenal luas di Indonesia. Segera nama itu menjadi perbincangan di tengah masyarakat, khususnya kaum muslimin Indonesia, yang belum usai dirundung berbagai kemalangan. Dengan semboyannya seperti di atas, “Islam yang Membebaskan”, kelompok ini berhasil membetot perhatian banyak kalangan, baik yang pro maupun yang kontra[3]. Ada apa dengan Islam Liberal? Bagaimana sejarah munculnya Islam Liberal di Indonesia? Apa tujuan, visi, misi dan prinsip-prinsipnya? Siapakah tokoh-tokoh Islib dan pendukung JIL? Apa saja pemikiran liberal yang dikatakan oleh tokoh-tokoh Islam Liberal tentang Islam?
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, walau masih dengan keterbatasan metode dan sumber data serta waktu yang tersedia untuk menyelesaikan tulisan ini. Oleh karena itu, tulisan ini masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan yang terdapat di dalamnya, yang kurang sesuai dengan beberapa pemikiran orang yang jelasnya memiliki pemikiran yang berbeda-beda, terutama dengan penulis. Harapannya, tulisan ini dapat dilengkapi kembali nantinya di suatu hari yang akan datang.
B. SEJARAH BERDIRINYA JARINGAN ISLAM LIBERAL
Dalam bukunya, Wacana Islam Liberal, Charles Kurzman, memulai pengantarnya dengan membantah istilah “Islam Liberal”, yang merupakan judul bukunya sendiri. Menurut Kurzman, ungkapan “Islam Liberal” mungkin terdengar seperti sebuah kontradiksi dalam peristilahan[4]. Mungkin ia bingung dengan istilahnya sendiri: Islam kok liberal? Meski ia menjawab di akhir tulisannya bahwa istilah Islam Liberal itu tidak kontradiktif, tapi ketidakjelasan uraiannya masih tampak di sana sini.
“Islam” itu sendiri, secara lughawi, bermakna “pasrah”, tunduk kepada Tuhan (Allah) dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi, di samping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadahan kepada manusia atau makhluk lainnya. Bisa disimpulkan, Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”.
Kurzman juga tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan “Islam Liberal”. Untuk menghindari definisi itu, ia mengutip sarjana hukum India, Ali Asghar Fyzee (1899-1981) yang menulis, “Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur, tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu Islam Liberal”. Bahkan, Fyzee menggunakan istilah lain untuk Islam Liberal yaitu “Islam Protestan”. Sebagaimana diungkap oleh salah satu pengajar Universitas Paramadina Mulya, Luthfi Assyaukanie, “Dengan istilah ini (“Islam Protestan” atau “Islam Liberal”), Fyzee ingin menyampaikan pesan perlunya menghadirkan wajah Islam yang lain, yaitu Islam yang nonortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke amasa depan dan buka ke masa silam[5].
Kemunculan istilah Islam Liberal ini, menurut Luthfie, mulai dipopulerkan tahun 1950-an. Tapi mulai berkembang pesat –terutama di Indonesia– tahun 1980-an, yaitu oleh tokoh ulama dan sumber rujukan “utama” komunitas atau Jaringan Islam Liberal, Nurcholish Madjid. Meski Nurcholish sendiri mengaku tidak pernah menggunakan istilah Islam Liberal untuk mengembangkan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tapi ia tidak menentang ide-ide Islam Liberal.
Karena itu, Islam Liberal sebenarnya “tidak beda” dengan gagasan-gagasan Islam yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid dan kelompoknya. Yaitu, kelompok Islam yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam (secara formal oleh negara), kelompok yang getol memperjuangkan sekularisasi, emansipasi wanita, “menyamakan” agama Islam dengan agama lain (pluralisme teologis), memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya[6].
Setelah Nurcholish Madjid meluncurkan gagasan sekularisasi dan ide-ide teologi inklusif-pluralis dengan Paramadinanya, kini “kader-kader” Nurcholish mengembangkan gagasannya lebih intensif lewat yang mereka sebut “Jaringan Islam Liberal”. Jaringan Islam Liberal yang mereka singkat dengan JIL ini, pada mulanya berawal dari kumpul-kumpul di berbagai tempat, seperti di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur, juga pertemuan-pertemuan yang tidak direncanakan, termasuk yang terjadi di Pancoran Jakarta[7]. Kemudian muncul gagasan dari Luthfi Assyaukanie, mantan wartawan majalah Ummat sekaligus dosen di Universitas Paramadina Mulya Jakarta, untuk membuka sebuah milis (mailing list) dalam islam liberal@yahoogroups.com di website http://www.islamlib.com/, sebagai forum diskusi dan sosialisasi ide-ide di antara mereka. Gagasan Luthfi ini disambut oleh beberapa intelektual muda NU, seperti Ulil Abshar Abdallah, ketua ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) yang juga menantu KH. Ahmad Musthofa Bisri, dan Ahmad Sahal, redaktur jurnal kebudayaan Kalam. Keduanya: Ulil dan Sahal sama-sama aktif di Lakpesdam (Lajnah Kajian Pengembangan Sumber Daya Manusia) NU[8].
Sejak 25 Juni 2001, JIL mengisi satu halaman Jawa Pos Minggu, berikut 51 koran jaringannya, dengan artikel dan wawancara seputar perspektif Islam Liberal. Tiap Kamis sore, JIL menyiarkan wawancara langsung (talkshow) dan diskusi interaktif dengan para kontributor Islam Liberal, lewat Kantor Berita Radio 68H dan puluhan radio jaringannya[9]. Dalam konsep JIL, talkshow itu dinyatakan sebagai upaya mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekar pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosial-keagamaan di tanah air. Acara ini diselenggarakan setiap minggu dan disiarkan oleh seluruh jaringan KBR 68H di seluruh Indonesia. Selain itu, media massa yang aktif meluncurkan gagasan-gagasan Islam Liberal di antaranya adalah Kompas, Koran Tempo, Republika, majalah Tempo, dan lain-lain[10].
Talkshow ini semula diikuti oleh 10 radio. Empat radio di Jabotabek yaitu Radio Attahiriyyah FM (Radio Islam), Radio Muara FM (Radio Dangdut), Radio Star FM (Tangerang), Radio Ria FM (Depok), dan enam radio di daerah yaitu Radio Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio Unisi (Jogjakarta), Radio PTPN (Solo), Radio Mara (Bandung), Radio Prima FM (Aceh), yang merupakan jaringan 68H. Dan sekarang, jaringan 68H terus bertambah banyak di seluruh Indonesia[11].
JIL juga bekerja sama dengan para intelektual, penulis dan akademisi dalam dan luar negeri, untuk menjadi kontributornya. Mereka adalah:
· Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
· Charles Kurzman, University of North Carolina.
· Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
· Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
· Masdar F. Mas’udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta.
· Goenawan Mohamad, Majalah Tempo.
· Edward Said.
· Djohan Effendi, Deakin University, Australia.
· Abdullahi Ahmad An-Naim, University of Khartoum, Sudan.
· Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung.
· Asghar Ali Engineer.
· Nasruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
· Mohammed Arkoun, University of Sorbonne, Prancis.
· Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
· Sadeq Jalal Azam, Damscus University, Suriah.
· Said Agil Siraj, PBNU, Jakarta.
· Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.
· Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
· Budi Munawwar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
· Ihsan Ali Fauzi, Ohio University, AS.
· Taufik Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
· Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
· Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
· Luthfie Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
· Saiful Mujani, Ohio State University, AS.
· Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok.
· Syamsurizal Panggabean, Universitas Gadjahmada, Yogyakarta.
Selain tokoh-tokoh di atas, beberapa orang tokoh Muhammadiyah juga aktif mendukung gagasan Islam Liberal, seperti Abdul Munir Mulkhan dan Sukidi. Bahkan, Syafi’i Ma’arif juga dapat dikategorikan ke dalam pendukung gagasan Islam Liberal. Seperti diketahui, Ma’arif adalah pendukung gagasan-gagasan liberal (neomodernisme) Fazlur Rahman. Ia juga dikenal getol dalam menolak dikembalikannya Piagam Jakarta ke dalam Konstitusi[12].
Di samping aktif kampanye lewat internet dan radio sejumlah aktivis Islam Liberal juga menerbitkan jurnal Tashwirul Afkar, yang dikomandani juga oleh Ulil Abshar Abdalla (pemred). Jurnal yang terbit empat bulanan ini resmi dibawahi oleh Lakpesdam NU bekerja sama dengan The Asia Foundation. Wajah liberal dalam jurnal ini, misalnya, tampak dalam terbitannya edisi 11/2001. Dimana Tashwirul Afkar menampilkan tema Menuju Pendidikan Islam Pluralis. Di edisinya itu, ditampilkan tulisan tokoh-tokoh Islam Liberal seperti Nashr Hamid Abu Zeyd, Abdul Munir Mulkhan, dan lain-lain.
Khamami Zada, salah satu redaktur pelaksananya misalnya, mengkritik pendidikan Islam yang hanya membenarkan agama Islam saja. Petikan tulisannya yang mengkritik keras pendidikan yang dijalankan para ulama selama ini, “Filosofi Pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar, agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan”[13].
Dalam rangka ulang tahun JIL yang ke-6, di kolom Bentara Kompas, 2/3/07, Dr. Luthfie Assyaukani menulis “Dua Abad Islam Liberal”. Merujuk pemikiran Albert Hourani, Luthfie menandai kedatangan Napoleon Bonaparte untuk menjajah Mesir (1798) sebagai awal era liberal bagi bangsa Arab dan kaum Islam. Era liberal baginya adalah awal era kebangkitan kesadaran kaum muslim, dimana umat Islam bebas mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban mereka. Sehingga sejak 1978, Islam Liberal genap berusia 209 tahun.
Kebebasan menurut Luthfie adalah faktor utama kemajuan bangsa. Hilangnya kebebasan berarti hilangnya kebangkitan sebuah bangsa. Kebebasan berfikir sebagai perluasan arti kata liberal, kemudian disetarakan dengan konsep ijtihad dalam Islam. Sehingga isu tertutupnya pintu ijtihad yang terjadi antara rentang abad 15 hingga 19 M disorot sebagai faktor kemunduran Islam. Tertutupnya pintu ijtihad, menurutnya sering disebabkan oleh penguasa politik dan penguasa agama[14].
C. VISI, MISI DAN TUJUAN ISLAM LIBERAL
Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:
a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks. Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur'an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas. Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
e. Meyakini kebebasan beragama. Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.
Nama "Islam liberal" menggambarkan prinsip-prinsip yang dianut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. "Liberal" di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Mereka percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Mereka memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu "liberal". Untuk mewujudkan Islam Liberal, mereka membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL).
Tujuan utama mereka adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu mereka memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.
JIL, memiliki beberapa misi utama yaitu: Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.
Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
Adapun program-programnya adalah: satu, Sindikasi Penulis Islam Liberal. Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal (atau belum dikenal) oleh publik luas sebagai pembela pluralisme dan inklusivisme. Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan tulisan, wawancara dan artikel yang baik untuk koran-koran di daerah yang biasanya mengalami kesulitan untuk mendapatkan penulis yang baik. Dengan adanya “otonomi daerah”, maka peran media lokal makin penting, dan suara-suara keagamaan yang toleran juga penting untuk disebarkan melalui media daerah ini. Setiap minggu, akan disediakan artikel dan wawancara untuk koran-koran daerah.
Dua, talk-show di Kantor Berita Radio 68H. Talk-show ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekar pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosial-keagamaan di Tanah Air. Acara ini akan diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan melaui jaringan Radio namlapanha di 40 Radio, antara lain; Radio namlapanha Jakarta, Radio Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio Unisi (Yogyakarta), Radio PTPN (Solo), Radio Mara (Bandung), Radio Prima FM (Aceh).
Tiga, Penerbitan Buku. JIL berupaya menghadirkan buku-buku yang bertemakan pluralisme dan inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan tulisan, maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang masih relevan dengan tema-tema tersebut. Saat ini JIL sudah menerbitkan buku kumpulan artikel, wawancara, dan diskusi yang diselenggarakan oleh JIL, berjudul Wajah Liberal Islam di Indonesia.
Empat, Penerbitan Buku Saku. Untuk kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan buku saku setebal 50-100 halaman dengan bahasa renyah dan mudah dicerna. Buku Saku ini akan mengulas dan menanggapi sejumlah isu yang menjadi bahan perdebatan dalam masyarakat. Tentu, tanggapan ini dari perspektif Islam Liberal. Tema-tema itu antara lain: jihad, penerapan syari’at Islam, jilbab, penerapan ajaran “memerintahkan yang baik, dan mencegah yang jahat” (amr ma’ruf, nahy munkar), dll.
Lima, website Islamlib.com. Program ini berawal dari dibukanya milis Islam Liberal (islamliberal@yahoogroups.com) yang mendapat respon positif. Ada usulan dari beberapa anggota untuk meluaskan milis ini ke dalam bentuk website yang bisa diakses oleh semua kalangan. Sementara milis akan tetap dipertahankan untuk kalangan terbatas saja. Semua produk JIL (sindikasi media, talk show radio, dll.) akan dimuat dalam website ini. Web ini juga akan memuat setiap perkembangan berita, artikel, atau apapun yang berkaitan dengan misi JIL.
Enam, Iklan Layanan Masyarakat. Untuk menyebarkan visi Islam Liberal, JIL memproduksi sejumlah Iklan Layanan Masyarakat (Public Service Advertisement) dengan tema-tema seputar pluralisme, penghargaan atas perbedaan, dan pencegahan konflik sosial. Salah satu iklan yang sudah diproduksi adalah iklan berjudul "Islam Warna-Warni".
Tujuh, Diskusi Keislaman. Melalui kerjasama dengan pihak luar (universitas, LSM, kelompok mahasiswa, pesantren, dan pihak-pihak lain), JIL menyelenggarakan sejumlah diskusi dan seminar mengenai tema-tema keislaman dan keagamaan secara umum. Termasuk dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling yang diadakan melalui kerjasama dengan kelompok-kelompok mahasiswa di sejumlah universitas, seperti Universitas Indonesia Jakarta, Universitas Diponegoro Semarang, Institut Pertanian Bogor, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dll[15].
D. TOKOH-TOKOH ISLAM LIBERAL
Ali Abdul Raziq (1866-1966) tampaknya adalah tokoh pertama yang merupakan rujukan kaum Islam Liberal. Bila Raziq dikenal hanya dengan karya tulisnya, maka Fazlur Rahman bisa kita sebut sebagai tokoh pertama Islam Liberal yang melakukan aksi gerakan, selain juga tulisan-tulisan.
Rahman (1919-1988) dilahirkan di Indo-Pakistan (sebelum terpecah dengan India). Ketika mulai dewasa, rahman sempat mulai berkenalan dengan Maududi. Tapi dia tidak cocok dengan gerakan Jamaat Islami yang dirintis oleh Maududi. Akhirnya, karena tidak puas dengan suasana keislaman di Pakistan, Rahman lari ke Barat. Bibit-bibit liberalnya makin terasah ketika ia melanjutkan studi Islam ke Barat, yaitu di Universitas Oxford, Inggris (1946). Tahun 1950, Rahman berhasil merampungkan studi doktoralnya di Oxford dengan sebuah disertasi berjudul tentang Ibnu Sina[16]. Beberapa tahun kemudian Rahman mengabdikan dirinya untuk mengajar di Durham University, Inggris, Mc Gill University, Kanada dan lain-lain.
Awal tahun 1960-an Rahman kembali ke Pakistan. Tahun 1962, Rahman ditunjuk pemerintah Pakistan sebagai Direktur Lembaga Riset Islam, setelah sebelumnya menjadi staf di negara tersebut. Di situ Rahman menuangkan pikiran-pikiran liberalnya di Jurnal Islamic Studies yang berbahasa Inggris dan Jurnal Fikru Nazhr berbahasa Urdu. Selain menerbitkan jurnal, Rahman juga mengirim staf-stafnya ke Universitas-Universitas Barat (sebagian ke Timur). Tahun 1946, Rahman juga mendapat jabatan ganda sebagai Dewan Penasihat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan (Presiden Ayyub Khan).
Mendapat jabatan pemerintahan yang bergengsi itu, Rahman mulai agresif untuk menyerang hukum-hukum Islam yang “qath’i”. Rahman misalnya, menentang dalil-dalil kebolehan poligami, hak cerai laki-laki, mendukung Keluarga Berencana (KB) dan menurutnya, bunga bank kecil halal, bunga bank berlipat ganda haram.
Pendapat-pendapat Rahman yang aneh ini, akhirnya mendapat serangan-serangan tajam dari para ulama Islam Pakistan. Tapi, Rahman tidak kapok. Ia juga menyerang Jamaat Islami, Abdul A’la Al-Maududi, yang disebutnya sebagai kaum neofundamentalis dan neorevivalis yang punya pendapat keras dan kaku. “Doktrin negara Islam yang paling keras dan kaku adalah yang diformulasikan oleh Maududi dalam beberapa pamfletnya dan dalam jurnalnya Tarjuman Al-Qur’an. Menurutnya, Islam merupakan suatu sistem monolitik hingga setiap rincian kehidupan orang beriman telah ditentukan prinsip-prinsip dasar,” kata ilmuwan Islam lulusan Amerika ini.
Mendapat serangan-serangan tajam dari ulama-ulama Islam Pakistan, Fazlur Rahman tidak tahan dan akhirnya “lari” kembali ke Amerika (1970). Kemudian di Chicago ia diberikan jabatan sebagai Guru Besar Kajian Islam di Department of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago. Ahmad Syafi’i Ma’arif memuji kepindahan Rahman ini,
“Bila bumi muslim belum “peka” terhadap imbauan-imbauannya (yakni Rahman-pen), maka bumi yang lain, yang juga bumi Allah, telah menampungnya dan dari sanalah ia menyusun dan merumuskan pemikiran-pemikirannya tentang Islam sejak tahun 1970. Dan ke sanalah pula beberapa mahasiswa muslim dari berbagai negeri muslim belajar Islam darinya”[17].
Syafi’i Ma’arif adalah salah satu murid Rahman, selain Nurcholish Madjid dan lain-lain. Entah ada utang budi menjadi mahasiswanya selama empat tahun atau ada hal lain, Syafi’i memuji Rahman setinggi-tingginya[18].
Cara berpikir Rahman soal Islam ini, kini tampaknya berpengaruh besar terhadap murid-muridnya dan sebagian mahasiswa/dosen IAIN. Keterpengaruhan besar institusi Islam ke pemikiran Rahman ini, mungkin di samping Rahman aktif memberikan advis ke IAIN, juga banyak mahasiswanya yang kini menjadi dosen IAIN. Tahun 1985, Rahman berkunjung ke Indonesia. Selain memberikan advis-advis yang penting ke IAIN, ia juga memberikan ceramah-ceramah “pembaharuannya”. Bahkan, tak lupa, dalam sebuah wawancara dengan majalah Tempo (24 Agustus 1985), ia menyerang hukum Islam yang jelas-jelas qath’i. Yakni, tentang hukum potong tangan. Ia menyatakan, “Sangat mengerikan ... merupakan tradisi yang lahir di Arab Saudi sebelum adanya Islam. Jadi bukan hukum Islam”.
Selain Rahman, di Universitas Chicago, para mahasiswa juga dididik oleh ilmuwan politik beragama Yahudi yang bernama Leonard Binder. Rahman dan Binder seringkali bersama-sama mengadakan proyek penelitian, di antaranya penelitian tentang “Islam dan Perubahan Sosial”. Riset yang dibiayai oleh Ford Foundation itu, melibatkan puluhan ahli dan meneliti lima masalah pokok. Pertama, pendidikan agama dan peruabahan peran ulama dalam Islam. Kedua, syariat dan kemajuan ekonomi. Ketika, keluarga dalam masyarakat dan hukum Islam masa kini. Keempat, Islam dan masalah legalitas politik. Kelima, perubahan konsepsi-konsepsi stratifikasi di dalam masyarakat muslim masa kini. Negri-negri muslim yang dipilih untuk riset itu adalah Indonesia, Pakistan, Mesir, Turki, Iran dan Maroko. Hasil riset ini kemudian dibukukan oleh Rahman dalam karyanya Islam Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1982).
Binder, teman Rahman, juga menyusun buku dari penelitian itu dengan judul Islam Liberalism tahun 1988[19]. di dalam buku itu Binder mengkritik pendapat-pendapat Maududi, Sayyid Quthb, dengan gaya “berputar-putar”. Di samping ia juga mengkritik pendapat Dhiyauddin Ar-Rais yang mengkritik buku Ali Abdul Raziq. Binder menyebut kritikan ke Abdul Raziq sebagai kritik yang penuh kegusaran dan emosional[20]. Binder mungkin termasuk intelektual Barat yang pertama-tama, di samping Rahman yang “muslim”, menghadapkan Islam Liberal dan Islam Fundamentalis[21].
Tokoh-tokoh Islam liberal lainnya yang cukup berpengaruh di Dunia Islam, khususnya di Mesir adalah Dr. Faraj Faudah/Fuda (1945-1993), Dr. Muhammad Khalafullah (lahir 1916) dan Dr. Fuad Zakaria. Faudah menjadi terkenal karena ia terbunuh oleh seseorang yang “tak begitu dikenal” (tersangka pembunuh Faudah akhirnya tertangkap dan diajukan ke pengadilan Mesir).
Selain Faraj Faudah cs, juga dikenal penganut paham Islam Liberal, yaitu Nashr Abu Zeid (difasakh dengan istrinya), Hasan Hanafi, Abdullahi Ahmed An-Na’im, Mohammad Arkoun, Mohammad Abed Al-Jabiri dan lain-lain. Sedangkan, dari kalangan wanita (tokoh-tokoh feminis) antara lain Fatimah Mernissi dan Rif’at Hassan.
Adapun tokoh-tokoh awal Islam Liberal di Indonesia adalah Prof. Dr. Nurcholish Madjid, KH. Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib dan Djohan Effendi. Dan sekarang ini mulai bermunculan tokoh-tokoh baru Islam Liberal seperti, Prof. Dr. Amin Abdullah, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Dr. Djalaluddin Rahmat, Prof. Dr. Dawam Rahardjo, dan lain-lain.
E. PEMIKIRAN LIBERAL TOKOH-TOKOH ISLAM LIBERAL
Untuk melengkapi makalah singkat ini, pembahasan sedikit tentang pemikiran tokoh-tokoh Islam Liberal, dipandang perlu. Di antara pendapat tokoh-tokoh Islam Liberal tentang Islam adalah sebagai berikut:
Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Umat Islam pun diperintahkan untuk senantiasa menegaskan bahwa kita semua, para penganut kitab suci yang berbeda-beda itu, sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, dan sama-sama pasrah (muslimun) kepada-Nya.
Dr. Alwi Shihab, “Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan” (semua yang baik dari setiap agama akan mendapat pahala dari Allah dan masuk surga).
Muhammad Ali (dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Jakarta), ayat-ayat surah AliImran:19 dan 85 harus ditafsirkan dalam kerangka pluralisme, yakni "Islam" di dalam ayat itu, harus diartikan sebagai "agama penyerahan diri”.
Prof. Dr. Said Agiel Siradj, “Agama yang membawa misi Tauhid adalah Yahudi, Nasrani (Kristen) dan Islam”.
Ulil Abshar Abdalla (aktivis Jaringan Islam Liberal), “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar”.
Sukidi (Direktur Eksekutif Pusat Studi Agama dan Peradaban Pimpinan Pusat Muhammadiyah), “Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur (Nurkholis Madjid) diawali dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah ke hadrat Tuhan. Kepasrahan ini, menjadi ciri pokok semua agama yang benar. Inilah worldview Al Quran, bahwa semua agama yang benar adalah al-Islam…”.
Dr. Djalaluddin Rahmat, “Dalam AlQur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja”.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Jakarta), “Di masa Nabi Muhammad saw, orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak dikatakan sebagai kafir, tetapi disebut ahlul kitab”.
Prof. Dr. Dawam Rahardjo, “Ahmadiyah (golongan yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi selepas Rasulullah) sama dengan kita.... Jadi kita tidak bisa menyalahkan atau membantah akidah mereka, apapun akidah mereka itu”.
Ahmad Baso (aktivis Jaringan Islam Liberal, tokoh muda NU), “Mushaf Uthmani adalah konstruk Quraisy terhadap al-Qur'an dengan mengabaikan sumber-sumber Mushaf lainnya”.
Taufik Adnan Amal (dosen Ulumul Qur’an di IAIN Alaudin Makasar), “… proses tersebut (pembukuan Mushaf Uthmani) masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini”.
M. Luthfie Assyaukanie (dosen di Universitas Paramadina Mulya Jakarta), “Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Al-Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma'nan) ”. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Tambahnya, “Hakikat dan sejarah penulisan Al-Qur’an sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa”.
Ulil Abshar Abdalla, “Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat”. (Jawa Pos, 11 Jan. 2004).
Prof. Alphonse Mingana (1927), paderi Kristian: ”The time has surely come to subject the text of the Qur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures”. (masanya sudah tiba untuk mengkritik alQuran sebagaimana Bible Yahudi dan Kristian).
Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya, tidak ada yang disebut "hukum Tuhan" dalam pengertian seperti difahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dsb”. Dan “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi”.
Prof. Dr. Dawam Rahardjo, “… menurut hemat saya, Ulil justru mengangkat wahyu Tuhan di atas syariat”.
Dr. Zainun Kamal (dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Jakarta), “hanya sebahagian ulama yang berpendapat muslimah haram menikah dengan non-muslim”.
Dr. Muslim Abdurrahman (tokoh Muhammadiyah), “Korban pertama dari penerapan syariat adalah PEREMPUAN”.
Dr. Denny JA. (aktivis Jaringan Islam Liberal), “Untuk Indonesia, Theologi Negara Sekuler akan membuat berdirinya negara sekuler yang demokratis akan lebih berakar, karena ditopang oleh kultur Islam sendiri (yang diinterpretasi ulang)”.
KH. Abdurrahman Wahid (Mantan Ketua Umum PB NU), “Bagi saya, peringatan Natal (Krismas) adalah peringatan kaum Muslimin juga. Kalau kita konsekuen sebagai seorang Muslim merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw, maka adalah harus konsekuen merayakan malam Natal”.
Prof. Dr. Amin Abdullah (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), “… tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam”.
Ilham B. Saenong (sarjana agama, penulis buku Hermenutika Pembebasan), “…sebagian besar tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini, sadar atau tidak, telah turut melanggengkan (meneruskan) status quo dan (menyebabkan) kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya”.
M. Luthfie Assyaukani, “Beranikah kita menggunakan hasil pemahaman kita sendiri berhadapan dengan pandangan-pandangan di luar kita? Misalnya berhadapan dengan Sayyid Qutb, al-Banna, Qardawi, Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin Abd al-Wahab, Ibn Taymiyyah, al-Ghazali, Imam Syafii, al-Bukhari, para sahabat, dan bahkan bisa juga Nabi Muhammad sendiri”.
Alb C. Kruyt (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum, “Bagaimanapun juga Islam harus dihadapi, karena semua yang menguntungkan Islam di Kepulauan ini akan merugikan kekuasaan Belanda… Kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan”.
Ulil Abshar Abdalla, “Agama tidak bisa “seenak udelnya” sendiri masuk ke dalam bidang-bidang itu (kesenian dan kebebasan berekspresi) dan memaksakan sendiri standarnya kepada masyarakat…Agama hendaknya tahu batas-batasnya”.
Inilah beberapa pendapat liberal para tokoh Islam Liberal yang di ambil dari website http://www.islamlib.com/ dan beberapa slide presentation milik KH. Hamid Fahmi Zarkasyi, BA. MA. Ed. M.Phil. Ph.D., Adian Husaini, MA. dan rekan-rekan muslim yang tergabung dalam INSIST (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization).
F. PENUTUP
Dari paparan di atas, jelas sudah bahwa JIL (Jaringan Islam Liberal) merupakan sekelompok orang yang mengaku beragama Islam tapi banyak meragukan dan menghujat bahkan menyalahkan serta menafikkan hukum Islam.
Sebenarnya, Islam Liberal cenderung melimpahkan problem Barat terhadap agamanya kepada Islam, kemudian memberinya justifikasi. Penggantian makna liberal dengan maksud yang sangat positif, seperti yang terjadi dalam perkembangan makna istilah ini di Barat, juga dilakukan oleh salah seorang pendiri JIL, M. Luthfie Assyaukanie, dengan menyandingkannya dengan konsep ijtihad. Padahal prinsip ijtihad dalam Islam bertentangan dengan paham liberal. Sebab kebebasan berijtihad tunduk pada beberapa kaidah dan persyaratan yang telah disepakati oleh kaum Muslimin, seperti kaidah: “la ijtihada fi al-qath’iyyat” (tidak ada ijtihad dalam masalah yang bersifat pasti), terlebih dalam pokok-pokok masalah ibadah dan akidah yang kita anut.
Kesimpangsiuran sejarah Islam Liberal, adalah bukti bahwa aliran ini tidak memiliki akar dalam sejarah Islam. Ahmad Sahal, seperti yang dikutip oleh Dawam Rahardjo, menisbatkan pemikiran Islam Liberal dimulai sejak Umar bin Khaththab, yang sering berbeda pendapat dengan Rasulullah mengenai urusan dunia. Jika klaim Sahal ini benar, maka usia Islam Liberal bukan dua abad, seperti yang dikatakan oleh Luthfie Assyaukanie, tetapi seusia dengan agama Islam itu sendiri, yaitu 15 abad.
Pemikiran Islam Liberal sebenarnya berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat dan hasil perpaduan antara paham modernisme yang menafsirkan Islam sesuai dengan modernitas dan paham postmodernisme yang anti-kemapanan. Upaya merombak segala yang sudah mapan kerap dilakukan, seperti dekonstruksi atas definisi Islam sehingga orang non Islam pun bisa dikatakan Muslim, dekonstruksi Al-Qur’an sebagai kitab suci, kedudukan homoseksual, atauran waris dan lain-lain.
Islam Liberal sering memanfaatkan modal murah dari radikalisme yang terjadi di sebagian kecil kaum Muslimin dan tidak segan-segan mengambil hasil kajian orientalis, metodologi kajian agama lain, ajaran HAM versi humanisme Barat, sekularisme dan paham-paham lainnya yang berlawanan dengan Islam.
Dengan mengamati coraknya, maka dapat disimpulkan bahwa pemikiran Islam Liberal adalah pemikiran liberal yang ditujukan kepada Islam. Oleh karena itu akan banyak membawa konsekuensi serius bila Islam Liberal dikategorikan sebagai bagian dari pemikiran atau madzhab Islam. Wallahu a’lam bi al-shawab. [mta]




DAFTAR PUSTAKA
Adian Husaini, MA. dan Nuim Hidayat. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Cetakan I. Jakarta: Gema Insani, 2002.
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, Juni 1990.
Binder, Leonard. Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Fatah, Eep Saifullah. Zaman Kesempatan: Agenda-agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru. Bandung: Mizan, 2000.
Gatra, 1 Desember 2001.
Koran Tempo, 22 April 2001.
Kurzman, Charles. Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. Jakarta: Paramadina, 2001.
Santoso, M.A. Fattah. Drs. M.Si. “Fenomena Jaringan Islam Liberal (JIL): Sebuah Studi Pendahuluan" dalam Profetika. Jurnal Studi Islam. Vol. 5, No. 2 Juli 2003.
Shalahuddin, Henri. S.Ag., MA. “Liberalisme dalam Epistemologi Islam (Tanggapan untuk DR. Luthfie Assyaukanie)”. Majalah GONTOR. Untuk semua golongan. Edisi 12 Tahun IV. Rabi’ul Awwal 1428/April 2007.
http://www.islamlib.com/
Zada, Khamami. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju, 2002.
[1]Eep Saifullah Fatah. Zaman Kesempatan: Agenda-agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru. (Bandung: Mizan, 2000). hlm. xi.
[2]Khamami Zada. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia. (Jakarta: Teraju, 2002). hlm. 4.
[3]Adian Husaini, MA. dan Nuim Hidayat. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Cetakan I. (Jakarta: Gema Insani, 2002). hlm. vii.
[4]Charles Kurzman. Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. (Jakarta: Paramadina, 2001). Buku ini menjadi buku pegangan utama kalangan Islam Liberal. Buku yang edisi Inggrisnya beredar di AS sejak tahun 1998 ini, sebenarnya penuh dengan “kekacauan”, baik dalam istilah-istilah maupun penggolongan tokoh-tokoh Islam dalam Islam Liberal.
[5]Makalah Luthfie dalam diskusi Wacana Islam Liberal di Timur Tengah di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Rabu, 21 Februari 2001 dalam Adian Husaini. op.cit. hlm. 2.
[6]Adian Husaini. ibid. hlm. 3.
[7]M.A. Fattah Santoso. “Fenomena Jaringan Islam Liberal (JIL): Sebuah Studi Pendahuluan" dalam Profetika. Jurnal Studi Islam. Vol. 5, No. 2 Juli 2003. hlm. 157.
[8]“Panjimas”. No. 07/I, 2002/2003: 28 dalam Fattah Santoso. op.cit.
[9]Lihat majalah Gatra, 1 Desember 2001 dan website islamlib.com Markas JIL yang berkantor di Jl. Utan Kayu 68H Rawamangun itu juga adalah markas ISAI yang banyak menerbitkan buku-buku kiri (sebagian berisi pembelaan terhadap PKI dan tokoh-tokohnya). Di markas itu juga sering dilaksanakan diskusi-diskusi, drama, teater dan lain-lain. Tokoh penggerak dan donatur utama Markas 68H itu adalah Goenawan Mohamad. Sedangkan Kantor Berita Radio 68H, salah satu penggagas utamanya adalah Andreas H. (pengikut Kristen), mantan wartawan Jakarta Post. Dalam iklannya tanggal 22 April 2001 di Koran Tempo disebutkan, “Radio 68H: Independen, Bisa dipercaya, Mengudara serentak di 200 kota, dari Aceh sampai Papua”.
[10]Adian Husaini. op.cit. hlm. 4.
[11]Husaini. op.cit. hlm. 4.
[12]Husaini. op.cit. hlm. 6.
[13]Ibid. hlm. 7.
[14]Henri Shalahuddin, S.Ag., MA. “Liberalisme dalam Epistemologi Islam (Tanggapan untuk DR. Luthfie Assyaukanie)”. Majalah GONTOR. Untuk semua golongan. Edisi 12 Tahun IV. Rabi’ul Awwal 1428/April 2007.
[15]http://www.islamlib.com/ (semua tentang Jaringan Islam Liberal, visi, misi dan tujuan serta program-programnya dan karya-karya tokoh JIL dan yang ditokohkan, dapat diakses di website ini).
[16] Tentang kehidupan dan karya-karya Fazlur Rahman ini bisa dilihat di buku Taufik Adnan Amal. Islam dan Tantangan Modernitas. Juni 1990.
[17]Adnan Amal. op.cit. hlm. 105.
[18]Husaini. op.cit. hlm. 20.
[19]Buku itu kini diterjemahkan dengan judul Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, November 2001.
[20]Leonard Binder. Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). hlm. 221.
[21]Dalam bukunya itu, yang dimaksudkan Islam Fundamentalis terutama adalah Ikhwanul Muslimin dan Jamaat Islami. Penghadapan antara Islam Liberal dan Islam Fundamentalis oleh Binder ini, mungkin yang menjadi inspirasi terbentuknya JIL Utan Kayu.