Monday, May 7, 2007

ISLAM FUNDAMENTALIS

ISLAM FUNDAMENTALIS
Studi Historis dan Doktrinal
Oleh: Khizanah Al-Masa’id, S.Pd.I., M.Si.
A. PENDAHULUAN
Penerapan istilah “fundamentalisme” dalam konteks muslim, akan segera memunculkan beberapa asosiasi, bagaimanapun kita berusaha mendefinisikannya, tampak sebagai sesuatu yang sangat elusive (sulit dipahami) sebagaimana dikenal selama ini, istilah tersebut berasal dari konteks budaya dan agama yang berbeda, yang pengertiannya lebih tepat dari dulu hingga sekarang adalah penegasan keyakinan pada kebenaran literer bible, menegakkan perlawanan terhadap ilmu pengetahuan sekuler, khususnya teori evolusi Darwin. Gerakan yang disebut fundamentalis dalam dunia muslim mempunyai latar belakang intelektual dan politik berbeda. Penggunaan istilah yang sama dalam konteks muslim belum tentu membantu pemahaman yang lebih baik.
Istilah fundamentalisme seperti umumnya digunakan sekarang ini, mempunyai kesan penghakiman sekalipun beberapa orang islam sendiri, tampaknya menunjukkan diri mereka dengan istilah tersebut, misalnya, al-usuliyyat al-islamiyya. Suatu istilah yang biasanya digunakan untuk menunjukkan celaan terhadap orang lain, berbeda dengan istilah “fanatik”, yang cenderung ditujukan pada orang-orang yang berfikir, berbicara, bertindak dan berpakaian berbeda dengan kebanyakan orang, sehingga akan lebih mudah mengatakan, apa mereka ini tidak lebih “fundamentalis” dari penunjukan yang pertama. Ada suatu isyarat bahwa kaum fundamentalis berlawanan dengan tatanan politik yang ada. Semua kelompok oposisi muslim lebih memungkinkan untuk dikatakan sebagai fundamentalis, meskipun doktrin mereka berbeda-beda. Sebaliknya, kelompok-kelompok yang dianggap sebagai fundamentalis, dengan berbagai alasan juga dikenai tuduhan sebagai kelompok subversi yang potensial, meskipun syarat yang sesungguhnya melampaui penggunaan konsep fundamentalisme itu sendiri.
Kekhawatiran akan bangkitnya “ekstremisme” dan “fundamentalisme” agama sempat membuat banyak orang khawatir akhir-akhir ini. Gejala yang menunjukkan perkembangan seperti ini memang cukup banyak. Munculnya sejumlah kelompok militan islam, tindakan pengrusakan, gereja (juga tempat ibadah yang lain), berkembangnya sejumlah media yang menyiarkan aspirasi islam militan, penggunaan istilah “jihad” sebagai alat pengesah serangan terhadap kelompok agama lain, dan semacamnya, adalah beberapa perkembangan yang menandai bangkitnya aspirasi keagamaan yang ekstrem tersebut. Sudah tentu jika tidak ada upaya-upaya untuk mencegah dominannya pandangan keagamaan yang militan itu, boleh jadi, dalam waktu yang panjang, pandangan-pandangan kelompok keagamaan yang militan ini bisa menjadi dominan. Hal ini jika benar terjadi, akan mempunyai akibat yang buruk buat usaha memantapkan demokratisasi di indonesia. Sebab, pandangan-pandangan keagamaan yang militan biasanya menimbulkan ketegangan diantara kelompok-kelompok agama yang ada, sebut saja antara islam dan kristen... pandangan-pandangan keagamaan yang terbuka, plural, dan humanis adalah salah satu nilai-nilai pokok yang mendasari suatu kehidupan yang demokratis.
Karena itu bagaimanapun juga kultus dan fundamentalisme hanyalah pelarian dalam keadaan tidak berdaya. Sebagai sesuatu yang hanya memberi hiburan ketenangan semu atau palliative, kultus dan fundamentalisme adalah sama berbahayanya dengan narkotika. Namun, narkotika menampilkan bahaya hanya melalui pribadi yang tidak memiliki kesadaran penuh (teler), baik secara perseorangan maupun kelompok, sehingga tidak akan menghasilkan sesuatu “gerakan” sosial dengan suatu bentuk kedisiplinan keanggotaan para pengguna narkotika, bukan keanggotaan sindikat para penjualnya. Adapun kultus dan fundamentalisme dengan sendirinya melahirkan sebuah gerakan dengan disiplin yang tinggi. Maka penyakit yang terakhir ini adalah jauh lebih berbahaya dari pada yang pertama.... sebagaimana mereka memandang narkotika dan alkoholisme sebagai ancaman kepada kelangsungan daya tahan bangsa, mereka juga berkeyakinan bahwa kultus dan fundamentalisme adalah ancaman-ancaman yang tidak kurang gawat.
B. ISLAM FUNDAMENTALISME
Fundamentalisme adalah istilah relatif baru dalam kamus peristilahan islam. Istilah “fundamentalisme dengan terjadinya Revolusi islam Iran pada 1979, yang memunculkan kekuatan Muslim Syi’ah radikal dan fanatik yang siap mati melawan the great Satan, Amerika serikat. Meski istilah fundamentalisme islam baru populer setelah peristiwa historis ini, namun dengan mempertimbangkan beberapa prinsip dasar dan karakteristik, seperti akan kita lihat nanti, maka fundamentalisme islam telah muncul jauh sebelumnya.
Setelah revolusi islam iran, istilah fundamentalisme islam digunakan untuk mengeneralisasi berbagai gerakan islam yang muncul dalam gelombang yang sering disebut sebagai “kebangkitan islam”. Memang dalam dasawarsa terakhir terlihat gejala “kebangkitan islam”, yang muncul dalam berbagai bentuk intensifikasi penghayatan dan pengalaman islam, yang diikuti dengan pencarian dan penegasan kembali nilai-nilai islam dalam berbagai aspek kehidupan. Tetapi menyebut semua gejala intensifikasi itu sebagai “fundamentalisme islam” jelas merupakan simplifikasi yang distortif.[1]
Fundamentalis islam bisa dikatakan merupakan bentuk ekstrem dari gejala “revivalisme”. Jika revivalisme dalam bentuk intensifikasi keislaman lebih berorientasi “ke dalam” dan karenanya sering bersifat individual- maka pada fundamentalisme, intensifikasi itu juga diarahkan keluar. Tegasnya, intensifikasi bisa berupa sekedar peningkatan attachement pribadi terhadap islam, oleh sebab itu sering mengandung dimensi esoteris, tetapi fundamentalisme menjelma dalam komitmen yang tinggi tidak hanya untuk mentransformasi kehidupan individual, tetapi sekaligus kehidupan komunal dan sosial. Dan karena itu, fundamentalisme islam juga sering bersifat eksoteris, yang sangat menekankan batas-batas kebolehan dan keharaman berdasarkan fiqih.
Mempertimbangkan sedikit kualifikasi, jelas bahwa membuat batas-batas apa yang disebut “fundamentalisme” islam tidaklah terlalu mudah. Banyak ahli dan kalangan muslim menolak penggunaan istilah “fundamentalisme” untuk menyebut gejala intensifikasi islam. Hujjahnya, secara historis penggunaan istilah ini berkaitan dengan kebangkitan fundamentalisme dalam gereja protestan, khususnya di Amerika serikat.[2] Sedangkan bagi Garaudy, fundamentalisme merupakan fenomena yang tidak terbatas pada agama; terdapat pula fundamentalisme dalam bidang politik, sosial dan budaya. Karena baginya, fundamentalisme adalah; suatu pandangan yang ditegakkan atas keyakinan, baik bersifat agama, politik ataupun budaya, yang dianut pendiri yang menanamkan ajaran-ajarannya dimasa lalu dan sejarah.[3]
Kalangan muslim tertentu keberatan dengan istilah “fundamentalisme”, terutama atas dasar konteks historis istilah ini dengan fundamentalisme kristen. Karena itu, sebagian mereka menggunakan istilah ushuliyyun untuk menyebut “orang-orang fundamentalis”, yakni mereka yang berpegang kepada fundamen-fundamen pokok islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits. Dalam kaitan ini pula digunakan istilah al-ushuliyyah al-islamiyyah (fundamentalis islam) yang mengandung pengertian; kembali kepada fundamen-fundamen keimanan; penegakakan kekuasaan politik ummah; dan pengukuhan dasar-dasar otoritas yang absah. Formulasi ini, seperti terlihat, menekankan dimensi politik gerakan islam, ketimbang aspek keagamaan.[4]
Prinsip pertama fundamentalisme adalah “opositionalism” (paham perlawanan). Fundamentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk perlawanan- yang bukannya tak sering bersifat radikal- terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama, apakah dalam bentuk modernitas atau moderisme, sekularisasi, dan tata nilai Barat pada umumnya. Acuan dan tolok ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tetu saja adalah kitab suci, yang dalam kasus fundamentalisme islam adalah al-Qur’an, dan pada batas tertentu al-Hadits.
Prinsip kedua adalah penolakan terhadap hermeneutika. Dengan kata lain, kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interprestasinya. Teks al-Qur’an harus dipahami secara literal- sebagaimana adanya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interprestasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian tertentu dari teks kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam “kompromi” dan menginterprestasikan ayat-ayat tersebut.
Prinsip ketiga adalah penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalisme, pluralisme merupakan hasil pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selaras dengan pandangan kaum fundamentalis merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, yang terutama muncul tidak hanya dari intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama.
Prinsip keempat adalah penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai “as it should be” bukan “as it is”. Dalam kerangka ini, adalah masyarakat yang harus menyesuaikan perkembangannya- kalau perlu secara kekerasan- dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti perkembangan masyarakat. karena itulah, kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis; dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk masyarakat “ideal”- bagi kaum fundamentalis islam seperti pada zaman kaum salaf yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna.
Diera globalisasi, image yang dibentuk oleh media massa jauh lebih berpengaruh ketimbang realitasnya. Masyarakat tidak mampu memahami fakta yang sebenarnya. Kampanye negatif oleh media massa Barat terhadap “islam fundamentalis” berlangsung dalam kurun waktu yang panjang. Sebab, kelompok islam jenis inilah yang dianggap sebagai ancaman Barat. Daniel pipes menyebut bahwa “fundamentalisme islam” seringkali dianggap sebagai ancaman terbesar bagi stabilitas regional Timur tengah dan kepentingan-kepentingan Barat di dunia islam yang lebih luas.[5]
Mungkin karena pertimbangan taktis dan strategis untuk menghindari benturan dengan “adikuasa” Barat dan sorotan negatif dari publik internasional yang sudah terlanjur memandang negatif terhadap “cap” fundamentalis- maka banyak kaum muslim yang enggan disebut sebagai kaum “fundamentalis”. Bahkan, mungkin untuk mengambil hati Barat, maka ada juga yang ikut-ikutan mengutuk dan menyerang kaum fundamentalis. Namun, bukan tidak mungkin ada yang memiliki keimanan “fundamentalisme” sebagai penghalang besar dalam mencapai kemajuan sebagaimana dicapai oleh Barat.
Kelompok-kelompok “antifundamentalisme” itu kemudian lebih suka “menafsirkan” ajaran-ajaran dan hukum-hukum islam ke dalam bentuk yang lebih bersahabat dengan Barat. Digunakan berbagai istilah yang indah untuk mengambarkan sosok dan aktivitas mereka. Misalnya, sebutan “modernis”, “pembaharu”, “reformis”, “liberal”, “progresif”, dan “moderat”. Sementara kaum fundamentalis mereka beri sebutan-sebutan yang berkonotasi negatif. Misalnya, ”kaku”, ”kolot”, “garis keras”, “ekstrem”, antiperubahan, atau anti pembaharuan.
Di era globalisasi yang masih didominasi oleh media Barat tentu saja sulit bagi kaum “fundamentalis” untuk membangun citranya dengan baik. Sebaliknya, kaum “modernis” atau kaum “liberal” yang “lebih bersahabat” dengan Barat, sekurangnya “tidak anti- Barat”, lebih mendapatkan kesempatan untuk berkembang dan mensosialisasikan gagasan-gagasan dan pemikirannya kepada masyarakat. Selain karena dukungan Barat, peluang yang pada masyarakat. Selain karena dukungan Barat, peluang yang lebih besar bagi kaum “modernis” itu juga didukung oleh pemerintahan di negeri-negeri muslim yang kebanyakan masih tergantung pada Barat dalam berbagai aspek (politik, militer, maupun ekonomi).
Dalam wacana publik yang didominasi media massa Barat dan sekuler, istilah “modernisme” dan fundamentalisme” sudah menjadi tidak netral lagi. Kantor-kantor berita Barat maupun banyak media massa di negeri muslim, sudah terbiasa menggunakan istilah “islam modernis”, islam moderat”, dan sebagainya, dalam arti yang positif. Modernisme dianggap merupakan usaha untuk mengadaptasikan islam ke dalam nilai-nilai modern dan up to date. Sebaliknya, istilah fundamentalisme digunakan untuk menyebut gerakan-gerakan islam “berhaluan keras”seperti di Libya, al-jazair, iran, dan lebanon. Akibat penggunaan istilah itu secara sederhana oleh media massa, maka pengertian “kaum fundamentalis muslim” kini cenderung diartikan sebagai kelompok islam yang berjuang mencapai tujuannya dengan cara-cara kekerasan. Bagi media massa Barat,” fundamentalisme islam” identik dengan “islam yang kejam”, “islam yang terbelakang”, dan sejenisnya.
Apalagi istilah “fundamentalis”itu sendiri tidak ditemukan dalam khazanah islam. Istilah “modernisme” maupun “fundamentalisme” dimunculkan oleh kaum akademis Barat dalam konteks sejarah keagamaan dalam masyarakat mereka sendiri. “modernisme” pada awalnya diartikan sebagai aliran keagamaan yang melakukan penafsiran terhadap doktrin agama kristen untuk menyesuaikannya dengan perkembangan pemikiran modern. Sedangkan, “fundamentalisme” diartikan sebagai reaksi terhadap modernisme. “fundamentalisme” agama kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu secara rigid dan literalis.[6]
Kamus Larous kecil mendefinisikan “fundamentalisme” sebagai sikap mereka yang menolak menyesuaikan kepercayaan dengan kondisi-kondisi yang baru. Dalam kamus Larous besar, “fundamentalisme” adalah sikap stagnan dan beku yang menolak seluruh perkembangan. Ilmuwan prancis, Roger Geraudy, meyatakan bahwa “fundamentalisme” adalah antitesa bagi “sekularisme”. Geraudy termasuk ilmuwan yang terjebak dalam melakukan generalisasi konsep “fundamentalisme” kristen untuk menganalisis fenomena sejenis di masyarakat muslim.[7]
C. FUNDAMENTALISME ISLAM PRA-MODERN
Orang seperti Geraudy keliru dengan menisbahkan kemunculan fundamentalisme islam semata-mata dengan dunia Barat Modern. Seperti dikemukakannya, fundamentalisme-fundamentalisme Barat adalah sebab pertama, sedangkan fundamentalisme-fundamentalisme lainnya (termasuk fundamentalisme islam) adalah reaksi terhadap fundamentalisme Barat tersebut.[8]tetapi menuding Barat sebagai satu-satunya pertumbuhan gerakan-gerakan islam termasuk fundamentalisme bukan hanya merupakan pencerminan sikap apologetik, tetapi juga mensimplifikasikan gejala perkembangan sosio-historis kaum muslimin. Sebagaimana akan kita lihat, prinsip dan karakteristik yang membuat suatu gerakan tertentu dapat disebut “fundamentalis”, juga terdapat didalam kalangan muslim sepanjang sejarah.
Fundamentalisme islam dengan demikian, tidaklah sepenuhnya baru. Sebelum munculnya fundamentalisme kontemporer terdapat gerakan yang mungkin dapat disebut sebagai prititype gerakan-gerakan fundamentalisme yang muncul dalam masa-masa lebih belakangan ini. Maka, untuk menghindari kekeliruan ini, ada baiknya kita membagi gerakan fundamentalisme menjadi dua tipologi: pra-modern, dan kontemporer yang dapat pula disebut neo-fundamentalisme. Fundamentalisme pra-modern muncul disebabkan situasi dan kondisi tertentu dikalangan umat muslim sendiri. Karena itu, ia lebih genuine dan inward oriented, berorientasi ke dalam diri kaum muslim sendiri. Pada pihak lain, fundamentalisme kontemporer bangkit sebagai reaksi terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial, budaya, politik dan ekonomi Barat, baik sebagai ekonomi kontak langsung dengan Barat maupun melalui pemikir muslim, tegasnya kelompok modernis, sekularis. Dan westernis, atau rejim pemerintahan muslim yang menurut kaum fundamentalis merupakan perpanjangan mulut dan tangan Barat.
Gerakan fundamentalis islam pra-modern pertama, yang selanjutnya menjadi prototype banyak gerakan fundamentalis islam muncul di semenanjung Arabia, di bawah pimpinan Muhammad ibn Abd al-wahhab (1703-92). Banyak dipengaruhi gagasan-gagasan pembaharuan Ibn Taymiyah dan memperoleh pendidikan di kalangan ulama reformis di haramayn, Ibn Abd al-Wahhab menggoyang pendulum reformisme islam ke titik ekstrem: fundamentalisme islam radikal. Bekerjasama dengan kepala kabilah lokal di Nejd, Ibn Abd al-Wahhab melancarkan jihad terhadap kaum muslim yang dipandangnya telah menyimpang dari ajaran islam yang “murni”; yang menurutnya banyak mempraktekkan bidáh, khurafat, tahayul dan semacamnya. Fundamentalisme wahhabi tidak hanya berupa purifikasi tawhid, tetapi juga penumpahan darah dan penjarahan mekkah dan madinah, yang diikuti pemusnahan monumen-monemen historis yang mereka pandang sebagai praktek-praktek menyimpang.[9]
Bergeser keujung lain di Dunia Muslim, gerakan fundamentalis yang mirip dengan wahhabi muncul dalam gerakan wahhabi dalam lingkungan ulama reformis dan kosmopolitan diharamanyn, gerakan padri bermula dari pembaharuan moderat yang dilancarkan Tuanku Nan Tuo dari murid-muridnya dari surau Koto Tuo, Agam, sejak perempatan terakhir abad ke-18. oposisi yang keras dari para pembaharu moderat dan kaum adat merupakan faktor penting yang mendorong terjadinya radikalisasi gerakan pembaharuan ini oleh murid-murid Tuanku Nan Tuo, khususnya Tuanku Nan Renceh. Kembalinya pada tahun 1803 tiga haji- haji miskin, haji sumanik dan haji piobang setelah melaksanakan haji dimekkah pada waktu kaum wahhabi berjaya ditanah suci menjadi trigger (pemicu) gerakan jihad kaum padri melawan kaum muslim lain yang menolak mengikuti ajaran keras mereka. Diantara pokok-pokok pandangan kaum padri yang kelihatan mirip dengan ajaran wahhabi adalah oposisi terhadap bidáh dan khurafat, dan pelarangan penggunaan tembakau dan pakaian sutra.[10]
Dalam gerakan-gerakan fundamentalis selanjutnya, warna anti barat muncul secara signifikan, walau tema “kembali kepada islam yang murni”juga tidak ditinggalkan. Salah satu contoh adalah gerakan Fareídhi di bengal. Gerakan ini dikembangkan Haji syariát Allah (1781-1840), yang pada intinya menekankan penerapan syariáh dan ajaran-ajaran al-Qurán lainnya secara ketat. Dimotivasi pula oleh kenyataan terjadinya diskripsi kehidupan masyarakat muslim akibat intruisi kekuatan politik dan sistem ekonomi inggris, syariát Allah menggalang masa petani muslim untuk melakukan jihad melawan kaum hindu dan inggris.[11]
Gerakan fundamentalis islam di akhiri masa transisi ini, yang perlu disinggung adalah gerakan jihad yang diorganisasi Sayyid Muhammad Abd Allah Hasan (1864-1920) disudan dan somalia. Hasan dengan keras mengecam orang muslimin yang “mempraktekkan bidáh-bidáh pagan”, semacam meminta wasilah dikuburan “awliya”. Antara tahun 1899 sampai 1920 ia memimpin jihad melawan musuh internal (muslim lainnya) dan musuh eksternal (inggris, italia dan prancis). Gerakan ini dalam perkembangan lebih lanjut mengklaim kemunculan imam Mahdi dalam diri Muhammad Ahmad Ibn Abd Allah (1844-85). Nama yang terakhir ini memaklumkan kemahdiannya pada 1881. ia menuntut kesetiaan dari para pengikutnya melalui bayáh; hijrah dari wilayah muslim lain; dan jihad untuk menyucikan islam dari pengaruh keberhalaan dan bidáh.[12]
D. PARAMETER (doktrin) TEOLOGIS FUNDAMENTALISME MUSLIM
Mungkinkah mengidentifikasi teologi fundamentalis secara khusus? Para analis yang banyak berpengalaman dalam bidang sejarah pemikiran islam memilih istilah fundamentalisme untuk menunjukkan gerakan-gerakan puritan yang menghidupkan tradisi intelektual Ibn Taimiyyah Wahabi. Menurut dugaan, sufisme mengabungkan keburukan dengan sikap dasar gerakan-gerakan tersebut, namun dalam prakteknya, kita melihat seluruh bentuk penggabungan tersebut, pada umumnya diindonesia, diasumsikan bahwa kaum fundamentalis adalah reformis dalam bidang teologi dan menolak terhadap madzhab. Gerakan islam indonesia yang paling puritan, persis, dengan alasan tertentu, kadang-kadang disebut fundamentalis, meskipun tidak terlibat dalam persoalan politik. Barangkali benar, bahwa jumlah muslim radikal di indonesia lebih banyak berasal dari latar belakang reformis dari pada tradisionalis. Sebaliknya, di malaysia ada beberapa gerakan berpengaruh yang berusaha menciptakan masyarakat islami, dan seluruh gerakan radikal tersebut mengikat secara ketat pada praktek peribadatan tradisionalis serta pengaruh sufi.
Kaum fundamentalis ingin menempatkan syariáh, hukum Tuhan, di atas hukum manusia. Usaha keras untuk menerapkan syariáh, barangkali merupakan kriteria yang paling tepat untuk membedakan fundamentalisme, dalam pengertian yang sederhana. Sebab, kriteria demikian tidak menjelaskan karakteristik sosial gerakan, melainkan lebih pada aspek doktrinalnya. Batasan ini tetap meliputi kalangan muslim di manapun juga. Jelasnya, karena ada banyak muslim yang berani menegaskan bahwa mereka tidak menginginkan syariáh, diterapkan.
Dalam masalah ini, barangkali tepat sekali, memperhatikan salah satu elemen penting pada hampir keseluruhan keanekaragaman fundamentalisme muslim yang tampaknya tidak sama dengan agama-agama besar lainnya; suatu hubungan ambivalen terhadap barat, imperialisme, missionarisme kristen, orientalisme dan tidak ketinggalan juga terhadap zionisme. Sejarah perjumpaan islam dengan Barat merupakan sejarah yang unik, dan secara emosional diliputi perasaan saling curiga, pengikut hindu dan Budha juga dijajah oleh kolonialis Barat, akan tetapi tidak pernah melibatkan ancaman terhadap identitas yang dirasakan bersama.
Satu alasan ketegangan antara islam dan kristen adalah karena keduanya mempunyai banyak kesamaan. Mereka saling berbagi sejarah suci mereka (nabi-nabi bangsa semit yang lebih awal), begitu pula dengan beberapa konsep keagamaan, dan karena itu pertentangan teologis keduanya melebihi ketegangan antara kristen dengan agama-agama Timur. Yang lebih penting, mereka adalah tetangga yang saling berperang selama lebih dari seribu tahun (perang salib). Dalam peperangan tersebut, wilayah strategis Eropa, spanyol dikuasai muslim, dan tentara-tentara muslim hanya mengalami kegagalan di sebagian besar wilayah Eropa bagian selatan. Akhirnya penguasa muslim ottoman berhasil menguasai sebagian besar Eropa bagian tenggara dan untuk waktu yang lama menjadi ancaman paling besar kerajaan-kerajaan kristen Barat. Sebaliknya bagi orang-orang kristen, perang salib dengan operasi militer adalah untuk merebut Tanah Suci, suatu daerah yang disakralkan oleh semua agama bangsa semit. Jauh sebelum terbentuk negara zionis, satu konfrontasi yang paling besar antara islam dan kristen penyangkut status Yerusalem.
Tidak hanya ideologi-ideologi kanan masyarakat Eropa yang berpengaruh secara langsung terhadap pemikiran fundamentalis muslim. Beberapa konsep politik untuk melawan pemerintah otoriter, diadopsi kaum fundamentalis berasal dari pemikiran pencerahan Eropa, sekalipun mungkin ditemukan istilah-istilah Arab di dalamnya dan mengklaim sebagai teladan yang islami. Slogan-slogan tentang tuntutan keadilan dan persamaan dalam semua instituisi seperti parlemen dan konstitusi, mungkin didasarkan pada rekontruksi pemikiran islam; tetapi inspirasi pokoknya berasal dari pemikiran liberal masyarakat Eropa atau sayap-kiri. Ide-ide ini secara insidental adalah bagian utama program modernisasi masyarakat Eropa. Pengadopsian oleh sebagian besar gerakan fundamentalis islam dalam bentuk sama atau yang lain, menunjukkan bahwa perlawanan mereka sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari gerakan-gerakan perlawanan reaksioner terhadap modernisasi.
Apakah fundamentalisme semata-mata fenomena keagamaan atau fenomena sosial dan politik? Analisis sosiologi tertentu akan cenderung pada aspek yang kedua, meskipun tidak ada analisis yang canggih hasil mengabaikan yang pertama (fenomena Agama).
Salah satu cabang ilmu sosial yang bisa memberikan wawasan tentang fundamentalisme sebagai fenomena agama dan sebagai fenomena politik adalah sosiologi sektarianisme. Sekarang ini, fundamentalisme dan sektarianisme tidak bisa diidentifikasi secara pasti, namun sebagian besar gerakan fundamentalis menyerupai, dalam hal-hal yang penting, sekte-sekte protestan yang muncul di eropa ketika menentang kekuasaan gereja katolik. Bryan Wilson, yang telah mencurahkan hidupnya untuk mempelajari sekte-sekte, dari dulu hingga sekarang, melukiskan beberapa karakteristik sekte-sekte yang paling tipikal: 1. eklusivitas tidak memberikan toleransi pada kesetiaan ganda, secara simultan seseorang tidak boleh mentaati ajaran-ajaran yang lain dari pada ajaran-ajaran sektenya sendiri; 2. klaim monopoli atas kebenaran agama; 3. sikap anti kelas orang-orang suci penolakan terhadap kelas orang-orang suci; diyakini bahwa seluruh manusia mempunyai akses yang sama atas kebenaran agama; 4. tidak ada pembagian kerja agama dalam sekte; 5. sebagai lembaga sukarelawan(keanggotaan merupakan pilihan perbuatan); 6. kontrol sosial yang kuat dalam sekte; 7. tuntutan totalitas kesetiaan; 8. sebagai kelompok protes untuk melawan gereja, ajaran-ajarannya dan para orang-orang yang disucikan.
Delapan karakteristik tersebut paling menonjol pada periode pra-modern, ketika masyarakat Eropa secara keseluruhan didominasi oleh gereja yang memiliki kekuasaan penuh, bersekutu kuat dengan negara, dan kependetaan merupakan bagian dari kelompok yang berkuasa. Sekarang ini, mungkin karakteristik tersebut merupakan deskripsi yang lebih akurat tentang gerakan muslim fundamentalis dari pada sekte-sekte kristen.
Baik sekte-sekte kristiani maupun gerakan-gerakan fundamentalis islam, mungkin mempunyai fungsi yang penting ketika melakukan koreksi terhadap kemapanan dan rutinitas agama, ibarat sengatan lebah terhadap darah ummat yang sedang mengalami kelesuhan, tuntutan secara langsung terhadap kesadaran religius, pembaruan cita rasa dorongan nurani agama yang orisinil. Mungkin tidak benar menganggap mereka sebagai gejala krisis yang mendalam, mereka lebih seperti suatu tanda masyarakat yang sehat. Menurut pendapat saya, adalah tepat kurangnya respon dari sebagian besar masyarakat. Akan menimbulkan rasa sakit yang mendalam. Sudah barang tentu, apresisi positif terhadap kritik kelompok fundamentalis, secara tidak langsung menunjukkan alternatif yang diperlukan. Analisis tentang dunia dalam sebagian tulisan-tulisan fundamentalis, meskipun tidak selalu tanpa wawasan yang simultan, adalah ketidak cukupan yang menyakitkan dan kemudian dari tulisan-tulisan tersebut diajukan solusi-solusi.
E. PENUTUP
Fundamentalisme secara umum tumbuh berkembang dan identik sebagai bagian dari fenomena global. Tak jarang, fundamentalisme juga disebut-sebut sebagai kelompok yang menggunakan kekerasan dalam mewujudkan cita-citannya.
Setelah peristiwa Black Tuesday 11 september 2001 dan pentagon, kemudian tanah air kita yang tercinta ini pun tak ketinggalan menjadi korban serangkaian tragedi kemanusiaan yang memilukan, seperti tragedy Legian Bali, JW Marriot, terakhir didepan gedung Dubes Australia, serta berbagai aksi bom yang lainnya, yang akhirnya ditengarai dilakukan oleh kelompok fundamentalis islam. Kaum fundamentalis islam digambarkan dan dicitrakan oleh Barat dengan sosok ciri tertentu yang bersifat fisik yang senantiasa menyerukan perlawanan. Menurut pandangan umum, kaum fundamentalis lahir disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang leteral tekstual, gagap terhadap modernitas, yang berupaya kembali pada ajaran orisinil guna mempertahankan kebenaran absolut.
Tapi menempatkan fundamentalisme agama sebagai satu-satunya persoalan besar, sekaligus musuh yang dihadapi ummat manusia saat ini adalah pandangan yang reduktif. Selain fundamentalisme agama, ada juga fundamentalisme yang jauh lebih berbahaya dan bahkan lebih mengerikan, yakni fundamentalisme Amerika. Fundamentalisme Amerika adalah wajah lain dari imperialisme dan hegemoni kekuasaan negara paman sam. Fundamentalisme Amerika adalah perpaduan dari kepentingan ekonomi, politik, militer dan juga agama (kristen dan yahudi). Fundamentalisme imperial bertujuan untuk mendisiplinkan dunia, mengukuhkan AS sebagai satu-satunya negara super Power, dan polisi dunia tanpa tanding. Demi menjaga kelangsungan kekuasaan imperiali, AS menggunakan kreasi prioritas ekonomi dan strategi control di mana-mana.
Karena wacana fundamentalisme terutama dalam masyarakat muslim- begitu bias dan debatable, ada baiknya para analis tidak terjebak dalam bias opini yang sudah berkembang jauh sebelumnya di AS, tanpa mau mendalami persoalannya secara komprehensif. Jangan sampai “pena” yang begitu tajam digunakan untuk melakukan kezaliman terhadap sesama muslim. Ingat, “pena ulama” bisa lebih tajam dari “pedang”. Maka kekerasan melalui pena justru bisa lebih jahat dari sekedar kekerasan melalui “pedang”.












DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi Dr. Fundamentalisme Kristen: Fenomena Kebangkitan Agama di AS, kompas 6 maret 1987.
_______. The Surau and The Early Reform Movements in Minangkabau. Mizan, 3, II (1990).
_______. Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
Bruce, Lawrence. ”From Islamic Revivalism to Islamic Fundamentalism” Currents in Modern Tthought. Februari 1991.
Garaudy R, Islam Fundamentalis Fundamentalis lainnya. Bandung: 1993.
Husaini, Adian. M.A. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Imarah, Muhammad. Fundamentalisme dalam Perspektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.
Martin. Muslim Brotherboods, 177-201; J.O. vol, ”the Sudanese Mahdi: Flontier a fundamentalist”, Ijmes, 10 (1979).
Muinuddin, Ahmad Khan. History of the Faraídi Movement in Bengal 1818-1906. Karachi: 1965.
Mukti, Ali. Dkk. Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998.
Nasr, Seyyed Hossen. Traditional Islam in the Modern World, London: 1987.
Nuryanto. “Wajah Islam di Dunia Barat”. Majalah Himmah. Edisi XI. Ponorogo: Darussalam Press, 1425.
Rahman Fazlur. Gelombang perubahan dalam Islam, Studi tentang Fundamentalisme Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
[1]Lihat, Bruce Lawrence, ”From Islamic Revivalism to Islamic Fundamentalism” currents in modern thought, Februari 1991.
[2]Lihat Azyumardi Azra, ” Fundamentalisme Kristen; Fenomena Kebangkitan Agama di AS”, Kompas 6 maret 1987.
[3]Pandangan Garuardy tentang ”Fundamentalisme” pada umumnya bersifat apologenetik, lihat R. Garaudy, Islam Fundamentalis Fundamentalis lainnya, (Bandung: 1993). hlm. 1.
[4]Lihat Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in The Modern World, (London: 1987). hlm. 304.
[5]Artikel Daniel Pipes berjudul Fundamentalist Muslims dimuat di jurnal Foreign Affairs, Musim panas 1986- seperti dikutip oleh Esposito dalam bukunya The Islamic Threat Myth or Reality, 1992, hlm. 4.
[6]Lihat Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999). hlm. 5.
[7]Muhammad Imarah. Fundamentalisme dalam Perspektif Barat dan Islam. (Jakarta: Gema Insani Press, 1999). hlm. 25-26.
[8]Garaudy, Islam Fundamentalis,
[9]Tentang akar-akar intelektualisme dan radikalisme Ibn Abd al-Wahhab, lihat Azyumardi Azra, ”The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: networks of middle eastern and Malay-Indonesian Ulama in the seventeenth centuries” (Ph.D diss, Columbia University: 1992). hlm. 283-7.
[10]Lihat Azumardi Azra, ”The Surau and The Early Reform Movements in Minangkabau”. Mizan, 3, II (1990).
[11]Tentang syariát Allah dan faraídi, lihat, Muin-ud-din Ahmad Khan, History of the faraídi movement in Bengal 1818-1906, (Karachi: 1965).
[12]Martin. Muslim Brotherboods, 177-201; J.O. voll, ”The Sudanese Mahdi: Flontier a Fundamentalist”, Ijmes , 10 (1979), hlm. 145-66.

No comments: