Monday, May 7, 2007

PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL DI INDONESIA:

PEMIKIRAN ISLAM LIBERAL DI INDONESIA:
(Studi Kasus Jaringan Islam Liberal)
Oleh: M. Tajuddin Al-Afghani, S.H.I., M.Si.

A. PENDAHULUAN
Sejak jatuhnya rezim Orde Baru, Indonesia memasuki masa baru masa transisi masa reformasi yang ternyata tidak secara otomatis mengantarkan bangas Indonesia dari zaman otoriter ke rezim demokratis. Hal ini dapat dimaklumi karena dalam setiap transisi, terjadi penataan ulang baik perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software)[1]. Penataan ulang perangkat keras mencakup pergantian pelaku, tumbuhnya institusi atau lembaga baru, perubahan dan pergantian aturan main serta perubahan dan pergantian mekanisme kerja politik, ekonomi dan sosial. Adapun penataan ulang perangkat lunak mencakup penataan cara berpikir, pola perilaku, tabiat dan kebudayaan dalam masyarakat (baik elit maupun massa). Selain penataan ulang, ciri lain masa transisi adalah kebebasan dan keterbukaan publik serta ketidak menentuan.
Dalam suasana transisi dengan ketiga cirinya itu, kebangkitan gerakan Islam menemui momentumnya. Gerakan Islam yang bangkit pasca jatuhnya Orba ditandai dua tipe, yaitu struktural dan kultural. Indikator tipe pertama adalah maraknya pendirian partai-partai Islam, antara lain PBB (Partai Bulan Bintang), PK (Partai Keadilan), PKU (Partai Kebangkitan Umat), PNU (Partai Nahdlatul Ulama), PP (Partai Persatuan), PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), PSII 1905, PUI (Partai Umat Islam) dan Partai Masyumi Baru. Indikator tipe kedua adalah menjamurnya sejumlah gerakan atau organisasi massa (ormas) Islam, seperti FPI (Front Pembela Islam), FKASW (Forum Komunikasi Ahlussunnah Waljamaah) yang kemudian populer dengan sebutan Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia, HAMMAS, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan JIL (Jaringan Islam Liberal). Ormas-ormas Islam ini, kecuali yang terakhir, dikategorikan sebagai ormas Islam dengan tiga karakter khasnya, yaitu: formalistik, militan dan radikal[2].
Mengingat kukuhnya gerakan Islam moderat, Islam kultural dan Islam inklusif di masa Orde Baru sejak 1970-an, fenomena kebangkitan gerakan Islam pasca-Orde Baru dengan karakter politik dan radikalnya itu tampak terjadi begitu tiba-tiba dan tidak diduga sebelumnya. Di tengah keterkejutan ini, sekelompok generasi muda yang dibesarkan oleh suasan Islam moderat, Islam kultural dan Islam inklusif era Orde Baru mencoba mengimbangi kebangkitan gerakan Islam politik dan radikal melalui pendirian JIL (Jaringan Islam Liberal). Dalam perjalanannya, JIL ternyata tidak kalah fenomenal. Walaupun dalam website mereka dikibarkan bendera “toleransi, emansipasi, demokrasi”dan dikumandangkan motto “bersama Anda, menuju Islam yang Ramah, Toleran dan Membebaskan”, namun JIL ternyata dinilai kontroversial, pandangan dan pemikirannya menuai badai kritik, bahkan sekumpulan ulama se-Jawa mengkategorikan salah satu tulisan tokohnya yang dimuat Kompas, 18 November 2002, sebagai tindakan yang dapat diancam hukuman mati.
Pertengahan tahun 2001, nama “Islam Liberal” mulai dikenal luas di Indonesia. Segera nama itu menjadi perbincangan di tengah masyarakat, khususnya kaum muslimin Indonesia, yang belum usai dirundung berbagai kemalangan. Dengan semboyannya seperti di atas, “Islam yang Membebaskan”, kelompok ini berhasil membetot perhatian banyak kalangan, baik yang pro maupun yang kontra[3]. Ada apa dengan Islam Liberal? Bagaimana sejarah munculnya Islam Liberal di Indonesia? Apa tujuan, visi, misi dan prinsip-prinsipnya? Siapakah tokoh-tokoh Islib dan pendukung JIL? Apa saja pemikiran liberal yang dikatakan oleh tokoh-tokoh Islam Liberal tentang Islam?
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, walau masih dengan keterbatasan metode dan sumber data serta waktu yang tersedia untuk menyelesaikan tulisan ini. Oleh karena itu, tulisan ini masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan yang terdapat di dalamnya, yang kurang sesuai dengan beberapa pemikiran orang yang jelasnya memiliki pemikiran yang berbeda-beda, terutama dengan penulis. Harapannya, tulisan ini dapat dilengkapi kembali nantinya di suatu hari yang akan datang.
B. SEJARAH BERDIRINYA JARINGAN ISLAM LIBERAL
Dalam bukunya, Wacana Islam Liberal, Charles Kurzman, memulai pengantarnya dengan membantah istilah “Islam Liberal”, yang merupakan judul bukunya sendiri. Menurut Kurzman, ungkapan “Islam Liberal” mungkin terdengar seperti sebuah kontradiksi dalam peristilahan[4]. Mungkin ia bingung dengan istilahnya sendiri: Islam kok liberal? Meski ia menjawab di akhir tulisannya bahwa istilah Islam Liberal itu tidak kontradiktif, tapi ketidakjelasan uraiannya masih tampak di sana sini.
“Islam” itu sendiri, secara lughawi, bermakna “pasrah”, tunduk kepada Tuhan (Allah) dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi, di samping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadahan kepada manusia atau makhluk lainnya. Bisa disimpulkan, Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”.
Kurzman juga tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan “Islam Liberal”. Untuk menghindari definisi itu, ia mengutip sarjana hukum India, Ali Asghar Fyzee (1899-1981) yang menulis, “Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur, tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu Islam Liberal”. Bahkan, Fyzee menggunakan istilah lain untuk Islam Liberal yaitu “Islam Protestan”. Sebagaimana diungkap oleh salah satu pengajar Universitas Paramadina Mulya, Luthfi Assyaukanie, “Dengan istilah ini (“Islam Protestan” atau “Islam Liberal”), Fyzee ingin menyampaikan pesan perlunya menghadirkan wajah Islam yang lain, yaitu Islam yang nonortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke amasa depan dan buka ke masa silam[5].
Kemunculan istilah Islam Liberal ini, menurut Luthfie, mulai dipopulerkan tahun 1950-an. Tapi mulai berkembang pesat –terutama di Indonesia– tahun 1980-an, yaitu oleh tokoh ulama dan sumber rujukan “utama” komunitas atau Jaringan Islam Liberal, Nurcholish Madjid. Meski Nurcholish sendiri mengaku tidak pernah menggunakan istilah Islam Liberal untuk mengembangkan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tapi ia tidak menentang ide-ide Islam Liberal.
Karena itu, Islam Liberal sebenarnya “tidak beda” dengan gagasan-gagasan Islam yang dikembangkan oleh Nurcholish Madjid dan kelompoknya. Yaitu, kelompok Islam yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam (secara formal oleh negara), kelompok yang getol memperjuangkan sekularisasi, emansipasi wanita, “menyamakan” agama Islam dengan agama lain (pluralisme teologis), memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya[6].
Setelah Nurcholish Madjid meluncurkan gagasan sekularisasi dan ide-ide teologi inklusif-pluralis dengan Paramadinanya, kini “kader-kader” Nurcholish mengembangkan gagasannya lebih intensif lewat yang mereka sebut “Jaringan Islam Liberal”. Jaringan Islam Liberal yang mereka singkat dengan JIL ini, pada mulanya berawal dari kumpul-kumpul di berbagai tempat, seperti di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur, juga pertemuan-pertemuan yang tidak direncanakan, termasuk yang terjadi di Pancoran Jakarta[7]. Kemudian muncul gagasan dari Luthfi Assyaukanie, mantan wartawan majalah Ummat sekaligus dosen di Universitas Paramadina Mulya Jakarta, untuk membuka sebuah milis (mailing list) dalam islam liberal@yahoogroups.com di website http://www.islamlib.com/, sebagai forum diskusi dan sosialisasi ide-ide di antara mereka. Gagasan Luthfi ini disambut oleh beberapa intelektual muda NU, seperti Ulil Abshar Abdallah, ketua ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) yang juga menantu KH. Ahmad Musthofa Bisri, dan Ahmad Sahal, redaktur jurnal kebudayaan Kalam. Keduanya: Ulil dan Sahal sama-sama aktif di Lakpesdam (Lajnah Kajian Pengembangan Sumber Daya Manusia) NU[8].
Sejak 25 Juni 2001, JIL mengisi satu halaman Jawa Pos Minggu, berikut 51 koran jaringannya, dengan artikel dan wawancara seputar perspektif Islam Liberal. Tiap Kamis sore, JIL menyiarkan wawancara langsung (talkshow) dan diskusi interaktif dengan para kontributor Islam Liberal, lewat Kantor Berita Radio 68H dan puluhan radio jaringannya[9]. Dalam konsep JIL, talkshow itu dinyatakan sebagai upaya mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekar pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosial-keagamaan di tanah air. Acara ini diselenggarakan setiap minggu dan disiarkan oleh seluruh jaringan KBR 68H di seluruh Indonesia. Selain itu, media massa yang aktif meluncurkan gagasan-gagasan Islam Liberal di antaranya adalah Kompas, Koran Tempo, Republika, majalah Tempo, dan lain-lain[10].
Talkshow ini semula diikuti oleh 10 radio. Empat radio di Jabotabek yaitu Radio Attahiriyyah FM (Radio Islam), Radio Muara FM (Radio Dangdut), Radio Star FM (Tangerang), Radio Ria FM (Depok), dan enam radio di daerah yaitu Radio Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio Unisi (Jogjakarta), Radio PTPN (Solo), Radio Mara (Bandung), Radio Prima FM (Aceh), yang merupakan jaringan 68H. Dan sekarang, jaringan 68H terus bertambah banyak di seluruh Indonesia[11].
JIL juga bekerja sama dengan para intelektual, penulis dan akademisi dalam dan luar negeri, untuk menjadi kontributornya. Mereka adalah:
· Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
· Charles Kurzman, University of North Carolina.
· Azyumardi Azra, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
· Abdallah Laroui, Muhammad V University, Maroko.
· Masdar F. Mas’udi, Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta.
· Goenawan Mohamad, Majalah Tempo.
· Edward Said.
· Djohan Effendi, Deakin University, Australia.
· Abdullahi Ahmad An-Naim, University of Khartoum, Sudan.
· Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahhari, Bandung.
· Asghar Ali Engineer.
· Nasruddin Umar, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
· Mohammed Arkoun, University of Sorbonne, Prancis.
· Komaruddin Hidayat, Yayasan Paramadina, Jakarta.
· Sadeq Jalal Azam, Damscus University, Suriah.
· Said Agil Siraj, PBNU, Jakarta.
· Denny JA, Universitas Jayabaya, Jakarta.
· Rizal Mallarangeng, CSIS, Jakarta.
· Budi Munawwar Rahman, Yayasan Paramadina, Jakarta.
· Ihsan Ali Fauzi, Ohio University, AS.
· Taufik Adnan Amal, IAIN Alauddin, Ujung Pandang.
· Hamid Basyaib, Yayasan Aksara, Jakarta.
· Ulil Abshar Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
· Luthfie Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
· Saiful Mujani, Ohio State University, AS.
· Ade Armando, Universitas Indonesia, Depok.
· Syamsurizal Panggabean, Universitas Gadjahmada, Yogyakarta.
Selain tokoh-tokoh di atas, beberapa orang tokoh Muhammadiyah juga aktif mendukung gagasan Islam Liberal, seperti Abdul Munir Mulkhan dan Sukidi. Bahkan, Syafi’i Ma’arif juga dapat dikategorikan ke dalam pendukung gagasan Islam Liberal. Seperti diketahui, Ma’arif adalah pendukung gagasan-gagasan liberal (neomodernisme) Fazlur Rahman. Ia juga dikenal getol dalam menolak dikembalikannya Piagam Jakarta ke dalam Konstitusi[12].
Di samping aktif kampanye lewat internet dan radio sejumlah aktivis Islam Liberal juga menerbitkan jurnal Tashwirul Afkar, yang dikomandani juga oleh Ulil Abshar Abdalla (pemred). Jurnal yang terbit empat bulanan ini resmi dibawahi oleh Lakpesdam NU bekerja sama dengan The Asia Foundation. Wajah liberal dalam jurnal ini, misalnya, tampak dalam terbitannya edisi 11/2001. Dimana Tashwirul Afkar menampilkan tema Menuju Pendidikan Islam Pluralis. Di edisinya itu, ditampilkan tulisan tokoh-tokoh Islam Liberal seperti Nashr Hamid Abu Zeyd, Abdul Munir Mulkhan, dan lain-lain.
Khamami Zada, salah satu redaktur pelaksananya misalnya, mengkritik pendidikan Islam yang hanya membenarkan agama Islam saja. Petikan tulisannya yang mengkritik keras pendidikan yang dijalankan para ulama selama ini, “Filosofi Pendidikan Islam yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik benar (truth claim), yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti dibongkar, agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan”[13].
Dalam rangka ulang tahun JIL yang ke-6, di kolom Bentara Kompas, 2/3/07, Dr. Luthfie Assyaukani menulis “Dua Abad Islam Liberal”. Merujuk pemikiran Albert Hourani, Luthfie menandai kedatangan Napoleon Bonaparte untuk menjajah Mesir (1798) sebagai awal era liberal bagi bangsa Arab dan kaum Islam. Era liberal baginya adalah awal era kebangkitan kesadaran kaum muslim, dimana umat Islam bebas mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban mereka. Sehingga sejak 1978, Islam Liberal genap berusia 209 tahun.
Kebebasan menurut Luthfie adalah faktor utama kemajuan bangsa. Hilangnya kebebasan berarti hilangnya kebangkitan sebuah bangsa. Kebebasan berfikir sebagai perluasan arti kata liberal, kemudian disetarakan dengan konsep ijtihad dalam Islam. Sehingga isu tertutupnya pintu ijtihad yang terjadi antara rentang abad 15 hingga 19 M disorot sebagai faktor kemunduran Islam. Tertutupnya pintu ijtihad, menurutnya sering disebabkan oleh penguasa politik dan penguasa agama[14].
C. VISI, MISI DAN TUJUAN ISLAM LIBERAL
Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:
a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks. Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur'an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas. Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
e. Meyakini kebebasan beragama. Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.
Nama "Islam liberal" menggambarkan prinsip-prinsip yang dianut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. "Liberal" di sini bermakna dua: kebebasan dan pembebasan. Mereka percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Mereka memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu "liberal". Untuk mewujudkan Islam Liberal, mereka membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL).
Tujuan utama mereka adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu mereka memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.
JIL, memiliki beberapa misi utama yaitu: Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.
Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
Adapun program-programnya adalah: satu, Sindikasi Penulis Islam Liberal. Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal (atau belum dikenal) oleh publik luas sebagai pembela pluralisme dan inklusivisme. Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan tulisan, wawancara dan artikel yang baik untuk koran-koran di daerah yang biasanya mengalami kesulitan untuk mendapatkan penulis yang baik. Dengan adanya “otonomi daerah”, maka peran media lokal makin penting, dan suara-suara keagamaan yang toleran juga penting untuk disebarkan melalui media daerah ini. Setiap minggu, akan disediakan artikel dan wawancara untuk koran-koran daerah.
Dua, talk-show di Kantor Berita Radio 68H. Talk-show ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekar pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosial-keagamaan di Tanah Air. Acara ini akan diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan melaui jaringan Radio namlapanha di 40 Radio, antara lain; Radio namlapanha Jakarta, Radio Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio Unisi (Yogyakarta), Radio PTPN (Solo), Radio Mara (Bandung), Radio Prima FM (Aceh).
Tiga, Penerbitan Buku. JIL berupaya menghadirkan buku-buku yang bertemakan pluralisme dan inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan tulisan, maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang masih relevan dengan tema-tema tersebut. Saat ini JIL sudah menerbitkan buku kumpulan artikel, wawancara, dan diskusi yang diselenggarakan oleh JIL, berjudul Wajah Liberal Islam di Indonesia.
Empat, Penerbitan Buku Saku. Untuk kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan buku saku setebal 50-100 halaman dengan bahasa renyah dan mudah dicerna. Buku Saku ini akan mengulas dan menanggapi sejumlah isu yang menjadi bahan perdebatan dalam masyarakat. Tentu, tanggapan ini dari perspektif Islam Liberal. Tema-tema itu antara lain: jihad, penerapan syari’at Islam, jilbab, penerapan ajaran “memerintahkan yang baik, dan mencegah yang jahat” (amr ma’ruf, nahy munkar), dll.
Lima, website Islamlib.com. Program ini berawal dari dibukanya milis Islam Liberal (islamliberal@yahoogroups.com) yang mendapat respon positif. Ada usulan dari beberapa anggota untuk meluaskan milis ini ke dalam bentuk website yang bisa diakses oleh semua kalangan. Sementara milis akan tetap dipertahankan untuk kalangan terbatas saja. Semua produk JIL (sindikasi media, talk show radio, dll.) akan dimuat dalam website ini. Web ini juga akan memuat setiap perkembangan berita, artikel, atau apapun yang berkaitan dengan misi JIL.
Enam, Iklan Layanan Masyarakat. Untuk menyebarkan visi Islam Liberal, JIL memproduksi sejumlah Iklan Layanan Masyarakat (Public Service Advertisement) dengan tema-tema seputar pluralisme, penghargaan atas perbedaan, dan pencegahan konflik sosial. Salah satu iklan yang sudah diproduksi adalah iklan berjudul "Islam Warna-Warni".
Tujuh, Diskusi Keislaman. Melalui kerjasama dengan pihak luar (universitas, LSM, kelompok mahasiswa, pesantren, dan pihak-pihak lain), JIL menyelenggarakan sejumlah diskusi dan seminar mengenai tema-tema keislaman dan keagamaan secara umum. Termasuk dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling yang diadakan melalui kerjasama dengan kelompok-kelompok mahasiswa di sejumlah universitas, seperti Universitas Indonesia Jakarta, Universitas Diponegoro Semarang, Institut Pertanian Bogor, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dll[15].
D. TOKOH-TOKOH ISLAM LIBERAL
Ali Abdul Raziq (1866-1966) tampaknya adalah tokoh pertama yang merupakan rujukan kaum Islam Liberal. Bila Raziq dikenal hanya dengan karya tulisnya, maka Fazlur Rahman bisa kita sebut sebagai tokoh pertama Islam Liberal yang melakukan aksi gerakan, selain juga tulisan-tulisan.
Rahman (1919-1988) dilahirkan di Indo-Pakistan (sebelum terpecah dengan India). Ketika mulai dewasa, rahman sempat mulai berkenalan dengan Maududi. Tapi dia tidak cocok dengan gerakan Jamaat Islami yang dirintis oleh Maududi. Akhirnya, karena tidak puas dengan suasana keislaman di Pakistan, Rahman lari ke Barat. Bibit-bibit liberalnya makin terasah ketika ia melanjutkan studi Islam ke Barat, yaitu di Universitas Oxford, Inggris (1946). Tahun 1950, Rahman berhasil merampungkan studi doktoralnya di Oxford dengan sebuah disertasi berjudul tentang Ibnu Sina[16]. Beberapa tahun kemudian Rahman mengabdikan dirinya untuk mengajar di Durham University, Inggris, Mc Gill University, Kanada dan lain-lain.
Awal tahun 1960-an Rahman kembali ke Pakistan. Tahun 1962, Rahman ditunjuk pemerintah Pakistan sebagai Direktur Lembaga Riset Islam, setelah sebelumnya menjadi staf di negara tersebut. Di situ Rahman menuangkan pikiran-pikiran liberalnya di Jurnal Islamic Studies yang berbahasa Inggris dan Jurnal Fikru Nazhr berbahasa Urdu. Selain menerbitkan jurnal, Rahman juga mengirim staf-stafnya ke Universitas-Universitas Barat (sebagian ke Timur). Tahun 1946, Rahman juga mendapat jabatan ganda sebagai Dewan Penasihat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan (Presiden Ayyub Khan).
Mendapat jabatan pemerintahan yang bergengsi itu, Rahman mulai agresif untuk menyerang hukum-hukum Islam yang “qath’i”. Rahman misalnya, menentang dalil-dalil kebolehan poligami, hak cerai laki-laki, mendukung Keluarga Berencana (KB) dan menurutnya, bunga bank kecil halal, bunga bank berlipat ganda haram.
Pendapat-pendapat Rahman yang aneh ini, akhirnya mendapat serangan-serangan tajam dari para ulama Islam Pakistan. Tapi, Rahman tidak kapok. Ia juga menyerang Jamaat Islami, Abdul A’la Al-Maududi, yang disebutnya sebagai kaum neofundamentalis dan neorevivalis yang punya pendapat keras dan kaku. “Doktrin negara Islam yang paling keras dan kaku adalah yang diformulasikan oleh Maududi dalam beberapa pamfletnya dan dalam jurnalnya Tarjuman Al-Qur’an. Menurutnya, Islam merupakan suatu sistem monolitik hingga setiap rincian kehidupan orang beriman telah ditentukan prinsip-prinsip dasar,” kata ilmuwan Islam lulusan Amerika ini.
Mendapat serangan-serangan tajam dari ulama-ulama Islam Pakistan, Fazlur Rahman tidak tahan dan akhirnya “lari” kembali ke Amerika (1970). Kemudian di Chicago ia diberikan jabatan sebagai Guru Besar Kajian Islam di Department of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago. Ahmad Syafi’i Ma’arif memuji kepindahan Rahman ini,
“Bila bumi muslim belum “peka” terhadap imbauan-imbauannya (yakni Rahman-pen), maka bumi yang lain, yang juga bumi Allah, telah menampungnya dan dari sanalah ia menyusun dan merumuskan pemikiran-pemikirannya tentang Islam sejak tahun 1970. Dan ke sanalah pula beberapa mahasiswa muslim dari berbagai negeri muslim belajar Islam darinya”[17].
Syafi’i Ma’arif adalah salah satu murid Rahman, selain Nurcholish Madjid dan lain-lain. Entah ada utang budi menjadi mahasiswanya selama empat tahun atau ada hal lain, Syafi’i memuji Rahman setinggi-tingginya[18].
Cara berpikir Rahman soal Islam ini, kini tampaknya berpengaruh besar terhadap murid-muridnya dan sebagian mahasiswa/dosen IAIN. Keterpengaruhan besar institusi Islam ke pemikiran Rahman ini, mungkin di samping Rahman aktif memberikan advis ke IAIN, juga banyak mahasiswanya yang kini menjadi dosen IAIN. Tahun 1985, Rahman berkunjung ke Indonesia. Selain memberikan advis-advis yang penting ke IAIN, ia juga memberikan ceramah-ceramah “pembaharuannya”. Bahkan, tak lupa, dalam sebuah wawancara dengan majalah Tempo (24 Agustus 1985), ia menyerang hukum Islam yang jelas-jelas qath’i. Yakni, tentang hukum potong tangan. Ia menyatakan, “Sangat mengerikan ... merupakan tradisi yang lahir di Arab Saudi sebelum adanya Islam. Jadi bukan hukum Islam”.
Selain Rahman, di Universitas Chicago, para mahasiswa juga dididik oleh ilmuwan politik beragama Yahudi yang bernama Leonard Binder. Rahman dan Binder seringkali bersama-sama mengadakan proyek penelitian, di antaranya penelitian tentang “Islam dan Perubahan Sosial”. Riset yang dibiayai oleh Ford Foundation itu, melibatkan puluhan ahli dan meneliti lima masalah pokok. Pertama, pendidikan agama dan peruabahan peran ulama dalam Islam. Kedua, syariat dan kemajuan ekonomi. Ketika, keluarga dalam masyarakat dan hukum Islam masa kini. Keempat, Islam dan masalah legalitas politik. Kelima, perubahan konsepsi-konsepsi stratifikasi di dalam masyarakat muslim masa kini. Negri-negri muslim yang dipilih untuk riset itu adalah Indonesia, Pakistan, Mesir, Turki, Iran dan Maroko. Hasil riset ini kemudian dibukukan oleh Rahman dalam karyanya Islam Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (1982).
Binder, teman Rahman, juga menyusun buku dari penelitian itu dengan judul Islam Liberalism tahun 1988[19]. di dalam buku itu Binder mengkritik pendapat-pendapat Maududi, Sayyid Quthb, dengan gaya “berputar-putar”. Di samping ia juga mengkritik pendapat Dhiyauddin Ar-Rais yang mengkritik buku Ali Abdul Raziq. Binder menyebut kritikan ke Abdul Raziq sebagai kritik yang penuh kegusaran dan emosional[20]. Binder mungkin termasuk intelektual Barat yang pertama-tama, di samping Rahman yang “muslim”, menghadapkan Islam Liberal dan Islam Fundamentalis[21].
Tokoh-tokoh Islam liberal lainnya yang cukup berpengaruh di Dunia Islam, khususnya di Mesir adalah Dr. Faraj Faudah/Fuda (1945-1993), Dr. Muhammad Khalafullah (lahir 1916) dan Dr. Fuad Zakaria. Faudah menjadi terkenal karena ia terbunuh oleh seseorang yang “tak begitu dikenal” (tersangka pembunuh Faudah akhirnya tertangkap dan diajukan ke pengadilan Mesir).
Selain Faraj Faudah cs, juga dikenal penganut paham Islam Liberal, yaitu Nashr Abu Zeid (difasakh dengan istrinya), Hasan Hanafi, Abdullahi Ahmed An-Na’im, Mohammad Arkoun, Mohammad Abed Al-Jabiri dan lain-lain. Sedangkan, dari kalangan wanita (tokoh-tokoh feminis) antara lain Fatimah Mernissi dan Rif’at Hassan.
Adapun tokoh-tokoh awal Islam Liberal di Indonesia adalah Prof. Dr. Nurcholish Madjid, KH. Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib dan Djohan Effendi. Dan sekarang ini mulai bermunculan tokoh-tokoh baru Islam Liberal seperti, Prof. Dr. Amin Abdullah, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Dr. Djalaluddin Rahmat, Prof. Dr. Dawam Rahardjo, dan lain-lain.
E. PEMIKIRAN LIBERAL TOKOH-TOKOH ISLAM LIBERAL
Untuk melengkapi makalah singkat ini, pembahasan sedikit tentang pemikiran tokoh-tokoh Islam Liberal, dipandang perlu. Di antara pendapat tokoh-tokoh Islam Liberal tentang Islam adalah sebagai berikut:
Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Umat Islam pun diperintahkan untuk senantiasa menegaskan bahwa kita semua, para penganut kitab suci yang berbeda-beda itu, sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, dan sama-sama pasrah (muslimun) kepada-Nya.
Dr. Alwi Shihab, “Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan” (semua yang baik dari setiap agama akan mendapat pahala dari Allah dan masuk surga).
Muhammad Ali (dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Jakarta), ayat-ayat surah AliImran:19 dan 85 harus ditafsirkan dalam kerangka pluralisme, yakni "Islam" di dalam ayat itu, harus diartikan sebagai "agama penyerahan diri”.
Prof. Dr. Said Agiel Siradj, “Agama yang membawa misi Tauhid adalah Yahudi, Nasrani (Kristen) dan Islam”.
Ulil Abshar Abdalla (aktivis Jaringan Islam Liberal), “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar”.
Sukidi (Direktur Eksekutif Pusat Studi Agama dan Peradaban Pimpinan Pusat Muhammadiyah), “Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur (Nurkholis Madjid) diawali dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah ke hadrat Tuhan. Kepasrahan ini, menjadi ciri pokok semua agama yang benar. Inilah worldview Al Quran, bahwa semua agama yang benar adalah al-Islam…”.
Dr. Djalaluddin Rahmat, “Dalam AlQur’an, kata kafir tidak pernah didefinisikan sebagai kalangan nonmuslim. Definisi kafir sebagai orang nonmuslim hanya terjadi di Indonesia saja”.
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Jakarta), “Di masa Nabi Muhammad saw, orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak dikatakan sebagai kafir, tetapi disebut ahlul kitab”.
Prof. Dr. Dawam Rahardjo, “Ahmadiyah (golongan yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi selepas Rasulullah) sama dengan kita.... Jadi kita tidak bisa menyalahkan atau membantah akidah mereka, apapun akidah mereka itu”.
Ahmad Baso (aktivis Jaringan Islam Liberal, tokoh muda NU), “Mushaf Uthmani adalah konstruk Quraisy terhadap al-Qur'an dengan mengabaikan sumber-sumber Mushaf lainnya”.
Taufik Adnan Amal (dosen Ulumul Qur’an di IAIN Alaudin Makasar), “… proses tersebut (pembukuan Mushaf Uthmani) masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini”.
M. Luthfie Assyaukanie (dosen di Universitas Paramadina Mulya Jakarta), “Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Al-Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma'nan) ”. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Tambahnya, “Hakikat dan sejarah penulisan Al-Qur’an sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa”.
Ulil Abshar Abdalla, “Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat”. (Jawa Pos, 11 Jan. 2004).
Prof. Alphonse Mingana (1927), paderi Kristian: ”The time has surely come to subject the text of the Qur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures”. (masanya sudah tiba untuk mengkritik alQuran sebagaimana Bible Yahudi dan Kristian).
Ulil Abshar Abdalla, “Menurut saya, tidak ada yang disebut "hukum Tuhan" dalam pengertian seperti difahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dsb”. Dan “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi”.
Prof. Dr. Dawam Rahardjo, “… menurut hemat saya, Ulil justru mengangkat wahyu Tuhan di atas syariat”.
Dr. Zainun Kamal (dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Jakarta), “hanya sebahagian ulama yang berpendapat muslimah haram menikah dengan non-muslim”.
Dr. Muslim Abdurrahman (tokoh Muhammadiyah), “Korban pertama dari penerapan syariat adalah PEREMPUAN”.
Dr. Denny JA. (aktivis Jaringan Islam Liberal), “Untuk Indonesia, Theologi Negara Sekuler akan membuat berdirinya negara sekuler yang demokratis akan lebih berakar, karena ditopang oleh kultur Islam sendiri (yang diinterpretasi ulang)”.
KH. Abdurrahman Wahid (Mantan Ketua Umum PB NU), “Bagi saya, peringatan Natal (Krismas) adalah peringatan kaum Muslimin juga. Kalau kita konsekuen sebagai seorang Muslim merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw, maka adalah harus konsekuen merayakan malam Natal”.
Prof. Dr. Amin Abdullah (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), “… tafsir-tafsir klasik Al-Qur’an tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam”.
Ilham B. Saenong (sarjana agama, penulis buku Hermenutika Pembebasan), “…sebagian besar tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini, sadar atau tidak, telah turut melanggengkan (meneruskan) status quo dan (menyebabkan) kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya”.
M. Luthfie Assyaukani, “Beranikah kita menggunakan hasil pemahaman kita sendiri berhadapan dengan pandangan-pandangan di luar kita? Misalnya berhadapan dengan Sayyid Qutb, al-Banna, Qardawi, Nabhani, Rashid Ridha, Muhammad bin Abd al-Wahab, Ibn Taymiyyah, al-Ghazali, Imam Syafii, al-Bukhari, para sahabat, dan bahkan bisa juga Nabi Muhammad sendiri”.
Alb C. Kruyt (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum, “Bagaimanapun juga Islam harus dihadapi, karena semua yang menguntungkan Islam di Kepulauan ini akan merugikan kekuasaan Belanda… Kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan”.
Ulil Abshar Abdalla, “Agama tidak bisa “seenak udelnya” sendiri masuk ke dalam bidang-bidang itu (kesenian dan kebebasan berekspresi) dan memaksakan sendiri standarnya kepada masyarakat…Agama hendaknya tahu batas-batasnya”.
Inilah beberapa pendapat liberal para tokoh Islam Liberal yang di ambil dari website http://www.islamlib.com/ dan beberapa slide presentation milik KH. Hamid Fahmi Zarkasyi, BA. MA. Ed. M.Phil. Ph.D., Adian Husaini, MA. dan rekan-rekan muslim yang tergabung dalam INSIST (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization).
F. PENUTUP
Dari paparan di atas, jelas sudah bahwa JIL (Jaringan Islam Liberal) merupakan sekelompok orang yang mengaku beragama Islam tapi banyak meragukan dan menghujat bahkan menyalahkan serta menafikkan hukum Islam.
Sebenarnya, Islam Liberal cenderung melimpahkan problem Barat terhadap agamanya kepada Islam, kemudian memberinya justifikasi. Penggantian makna liberal dengan maksud yang sangat positif, seperti yang terjadi dalam perkembangan makna istilah ini di Barat, juga dilakukan oleh salah seorang pendiri JIL, M. Luthfie Assyaukanie, dengan menyandingkannya dengan konsep ijtihad. Padahal prinsip ijtihad dalam Islam bertentangan dengan paham liberal. Sebab kebebasan berijtihad tunduk pada beberapa kaidah dan persyaratan yang telah disepakati oleh kaum Muslimin, seperti kaidah: “la ijtihada fi al-qath’iyyat” (tidak ada ijtihad dalam masalah yang bersifat pasti), terlebih dalam pokok-pokok masalah ibadah dan akidah yang kita anut.
Kesimpangsiuran sejarah Islam Liberal, adalah bukti bahwa aliran ini tidak memiliki akar dalam sejarah Islam. Ahmad Sahal, seperti yang dikutip oleh Dawam Rahardjo, menisbatkan pemikiran Islam Liberal dimulai sejak Umar bin Khaththab, yang sering berbeda pendapat dengan Rasulullah mengenai urusan dunia. Jika klaim Sahal ini benar, maka usia Islam Liberal bukan dua abad, seperti yang dikatakan oleh Luthfie Assyaukanie, tetapi seusia dengan agama Islam itu sendiri, yaitu 15 abad.
Pemikiran Islam Liberal sebenarnya berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat dan hasil perpaduan antara paham modernisme yang menafsirkan Islam sesuai dengan modernitas dan paham postmodernisme yang anti-kemapanan. Upaya merombak segala yang sudah mapan kerap dilakukan, seperti dekonstruksi atas definisi Islam sehingga orang non Islam pun bisa dikatakan Muslim, dekonstruksi Al-Qur’an sebagai kitab suci, kedudukan homoseksual, atauran waris dan lain-lain.
Islam Liberal sering memanfaatkan modal murah dari radikalisme yang terjadi di sebagian kecil kaum Muslimin dan tidak segan-segan mengambil hasil kajian orientalis, metodologi kajian agama lain, ajaran HAM versi humanisme Barat, sekularisme dan paham-paham lainnya yang berlawanan dengan Islam.
Dengan mengamati coraknya, maka dapat disimpulkan bahwa pemikiran Islam Liberal adalah pemikiran liberal yang ditujukan kepada Islam. Oleh karena itu akan banyak membawa konsekuensi serius bila Islam Liberal dikategorikan sebagai bagian dari pemikiran atau madzhab Islam. Wallahu a’lam bi al-shawab. [mta]




DAFTAR PUSTAKA
Adian Husaini, MA. dan Nuim Hidayat. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Cetakan I. Jakarta: Gema Insani, 2002.
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, Juni 1990.
Binder, Leonard. Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Fatah, Eep Saifullah. Zaman Kesempatan: Agenda-agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru. Bandung: Mizan, 2000.
Gatra, 1 Desember 2001.
Koran Tempo, 22 April 2001.
Kurzman, Charles. Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. Jakarta: Paramadina, 2001.
Santoso, M.A. Fattah. Drs. M.Si. “Fenomena Jaringan Islam Liberal (JIL): Sebuah Studi Pendahuluan" dalam Profetika. Jurnal Studi Islam. Vol. 5, No. 2 Juli 2003.
Shalahuddin, Henri. S.Ag., MA. “Liberalisme dalam Epistemologi Islam (Tanggapan untuk DR. Luthfie Assyaukanie)”. Majalah GONTOR. Untuk semua golongan. Edisi 12 Tahun IV. Rabi’ul Awwal 1428/April 2007.
http://www.islamlib.com/
Zada, Khamami. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju, 2002.
[1]Eep Saifullah Fatah. Zaman Kesempatan: Agenda-agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru. (Bandung: Mizan, 2000). hlm. xi.
[2]Khamami Zada. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia. (Jakarta: Teraju, 2002). hlm. 4.
[3]Adian Husaini, MA. dan Nuim Hidayat. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya. Cetakan I. (Jakarta: Gema Insani, 2002). hlm. vii.
[4]Charles Kurzman. Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. (Jakarta: Paramadina, 2001). Buku ini menjadi buku pegangan utama kalangan Islam Liberal. Buku yang edisi Inggrisnya beredar di AS sejak tahun 1998 ini, sebenarnya penuh dengan “kekacauan”, baik dalam istilah-istilah maupun penggolongan tokoh-tokoh Islam dalam Islam Liberal.
[5]Makalah Luthfie dalam diskusi Wacana Islam Liberal di Timur Tengah di Teater Utan Kayu (TUK), Jakarta. Rabu, 21 Februari 2001 dalam Adian Husaini. op.cit. hlm. 2.
[6]Adian Husaini. ibid. hlm. 3.
[7]M.A. Fattah Santoso. “Fenomena Jaringan Islam Liberal (JIL): Sebuah Studi Pendahuluan" dalam Profetika. Jurnal Studi Islam. Vol. 5, No. 2 Juli 2003. hlm. 157.
[8]“Panjimas”. No. 07/I, 2002/2003: 28 dalam Fattah Santoso. op.cit.
[9]Lihat majalah Gatra, 1 Desember 2001 dan website islamlib.com Markas JIL yang berkantor di Jl. Utan Kayu 68H Rawamangun itu juga adalah markas ISAI yang banyak menerbitkan buku-buku kiri (sebagian berisi pembelaan terhadap PKI dan tokoh-tokohnya). Di markas itu juga sering dilaksanakan diskusi-diskusi, drama, teater dan lain-lain. Tokoh penggerak dan donatur utama Markas 68H itu adalah Goenawan Mohamad. Sedangkan Kantor Berita Radio 68H, salah satu penggagas utamanya adalah Andreas H. (pengikut Kristen), mantan wartawan Jakarta Post. Dalam iklannya tanggal 22 April 2001 di Koran Tempo disebutkan, “Radio 68H: Independen, Bisa dipercaya, Mengudara serentak di 200 kota, dari Aceh sampai Papua”.
[10]Adian Husaini. op.cit. hlm. 4.
[11]Husaini. op.cit. hlm. 4.
[12]Husaini. op.cit. hlm. 6.
[13]Ibid. hlm. 7.
[14]Henri Shalahuddin, S.Ag., MA. “Liberalisme dalam Epistemologi Islam (Tanggapan untuk DR. Luthfie Assyaukanie)”. Majalah GONTOR. Untuk semua golongan. Edisi 12 Tahun IV. Rabi’ul Awwal 1428/April 2007.
[15]http://www.islamlib.com/ (semua tentang Jaringan Islam Liberal, visi, misi dan tujuan serta program-programnya dan karya-karya tokoh JIL dan yang ditokohkan, dapat diakses di website ini).
[16] Tentang kehidupan dan karya-karya Fazlur Rahman ini bisa dilihat di buku Taufik Adnan Amal. Islam dan Tantangan Modernitas. Juni 1990.
[17]Adnan Amal. op.cit. hlm. 105.
[18]Husaini. op.cit. hlm. 20.
[19]Buku itu kini diterjemahkan dengan judul Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, November 2001.
[20]Leonard Binder. Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). hlm. 221.
[21]Dalam bukunya itu, yang dimaksudkan Islam Fundamentalis terutama adalah Ikhwanul Muslimin dan Jamaat Islami. Penghadapan antara Islam Liberal dan Islam Fundamentalis oleh Binder ini, mungkin yang menjadi inspirasi terbentuknya JIL Utan Kayu.

No comments: